Menguji Ucapan dan “Tebar Pesona” Kepala Negara


Perkataan seorang pemimpin negara teruji kebenarannya, pertama antara bicara sesuai dengan posisinya sebagai kepala negara yang mana hal itu keluar dari hati nurani sebagai pemimpin yang sangat bisa diteladani dengan yang kedua, antara “tebar pesona”. Jika kepala negara yang memosisikan sebagai teladan atau panutan bagi rakyatnya bicaranya tidak sembarangan kata-kata keluar dari mulut saja. Tapi, juga sangat memahami kondisi bangsa yang sedang giat membangun demokrasi dari rakyat dibawahnya.

Tapi, ucapan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, sangat tidak teruji kebenarannya ketika beliau sempat menyebutkan bahwa demonstrasi itu tidak dilarang dan sangat diperbolehkan. Bahkan, ketika demonstrasi yang dilakukan beberapa bulan lalu masih tahun 2008 ini—dengan mengundang Rieke Diah Pitaloka—hingga akhirnya Oneng (sebutan familiar sinetron dulu Rieke Diah Pitaloka di salah satu televisi swasta Ibukota) dipanggil Kepolisian Republik Indonesia, waktu itu Polri masih dikepalai oleh Jend. Sutanto. Sampai-sampai fungsionaris PDI-Perjuangan ini paranoid tidak berani keluar rumah. Bahkan, ketika ingin syuting pekerjaannya ia (Rieke Dyah Pitaloka) harus dijemput atau dikawal oleh orang yang ia percaya.

Lagi-lagi, ketika demonstrasi yang intinya menyuarakan aspirasi dan hati nurani rakyat kini malah dijegal tanda kutip oleh kepala negara yang notabene-nya sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai Demokrat, parpol pemenang Pemilu 2004. Bagaimana tidak? Ketika pengeras suara demonstrasi (Jum’at, 12 Desember 2008) yang dilakukan elemen mahasiswa di depan Istana Negara sangat keras suaranya. Mungkin, kelantangan suara orator dalam menyemangati massanya dengan pengeras suara yang besar. Sementara, di dalam Istana Negara Presiden SBY sedang berkonsentrasi memimpin meeting bersama sejumlah menteri mengenai antisipasi dan timbulnya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada pukul 10.30 WIB—merasa terganggu dengan sound sistem pendemo.

Mengutip dari media berita online di Jakarta, Presiden SBY sembari memerintahkan Kapolri Bambang Hendarso mengatakan, “Kita ini mau mulai rapat, ada unjuk rasa. Kita jadi tidak bisa bekerja. Bahkan unjuk rasa menggunakan loudspeaker sebesar itu. Ini siapa yang harus menangani? Saya rasa kita ini satu-satunya negara di dunia, yang seperti ini.” Sebagai anak buah yang harus patuh kepada pimpinannya, Kepala Kepolisian RI itu pun sigap dan spontan mengatakan “Siap!” Lalu, entah apa yang dilakukan Panglima TNI Djoko Santoso, Menko Polhukam Juwono Sudarsono, dan Syamsir Siregar, Kepala BIN, serta menteri-menteri lain ketika mendengar “sentakan” suara dari Presiden SBY yang merasa rapat koodinasi itu terganggu.

Beberapa bulan lalu, Presiden SBY pernah membuat pernyataan di depan para wartawan intinya mengenai aksi massa tidak termasuk tindakan pidana. Dalam pemahaman yang sempat dilontarkan Presiden SBY, aksi massa yang bukan anarkhis dan menimbukan chaos, benar. Tapi, hal itu bukan serta merta menjadi alasan ketika para pendemo juga tidak lagi menggunakan perangkat sound sistem. Penggunaan perangkat itu agar massa yang di belakangnya itu mendengarkan aba-aba dari koordinator lapangan (korlap)—agar aksi tersebut tidak menimbulkan “kerusakan”.

Menimbang perintah Presiden SBY kepada Kapolri Bambang Hendarso hari ini (Jum’at, 12 Desember 2008) yang sempat ditulis oleh wartawan di depan para menteri-menterinya itu sangat tidak relevan dengan ucapan sebelumnya (memahami ucapan Presiden SBY mengenai aksi massa bukan tindakan pidana). Kemarahan presiden sempat terekam juru kamera media elektronik yang berada di dalam ruang rapat. Usai menegur Kapolri, Presiden SBY lantas meminta kepada para wartawan untuk meninggalkan ruang rapat.

Terlebih, ketika dipahami oleh Kapolri akan menjadi soal. Bisa saja, ketika perintah itu langsung ditujukan kepada Kapolri, Bambang Hendarso langsung memerintahkan anak buahnya (polisi) untuk segera membubarkan aksi massa tersebut. Atau, mungkin keinginan Presiden SBY agar aksi massa itu tidak menggunakan suara yang sangat keras itu tidak direpresi (tekan, atau dibubarkan secara paksa) oleh aparat keamanan. Nah, dua hal ini sangat bertolak belakang jika nantinya terjadi kesalahpahaman.

Meski, media berita online tidak memberitakan bagaimana kelanjutan aksi massa tersebut dan solusinya setelah Presiden SBY merasa terganggu oleh suara aksi tersbeut. Tapi, berita itu awalnya sudah terlanjur diketauhi masyarakat umum.

Memang, sidang yang dipimpin Presiden SBY di Istana Negara itu bukan suatu hal yang mudah ketika tengah menghadapi rencana besar-besaran PHK oleh sejumlah perusahaan di dalam negeri akibat krisis global ini. Sementara, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menginginkan adanya PHK, apalagi secara sepihak. Kebutuhan hidup saat ini sudah sangat “membengkak”. Atas dasar kenyataan ini yang mungkin Presiden SBY harus lebih berkonsentrasi untuk mencari jawabannya.

Setidaknya, “sekali menggayung dua-tiga pulau terlampaui”—kata pepatah dulu. Itulah, mungkin yang bisa kita ingatkan kepada Presiden SBY. Terserah bisa atau tidak, hal ini adalah konsekwensi kepala negara ketika menghadapi peliknya permasalah negara yang sedang akan membangun kembali dari keterpurukan selama 10 tahun lebih sejak krisis moneter 1998.

Terlebih, menghadapi Pemilu 2009, tapi ada banyak tugas kepala negara yang belum selesai dikerjakan. Berkenaan dengan aksi massa juga menuntut kebijakan Presiden SBY yang dinilai sudah tidak lagi memenuhi janji-janji sejak diangkat sebagai presiden pada tahun 2004 lalu. Janji-janjinya kini bisa dinilai oleh seluruh rakyat Indonesia, tatkala kampanyenya untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik, kini sudah dirasakan oleh kita semua hanya sebagai janji-janji belaka.

Aksi massa yang sekiranya merupakan meluapkan asiprasi rakyat yang tengah “kecewa” akan pemerintahan SBY-JK dan mengikuti segala peraturannya untuk melakukan demonstrasi, pada akhirnya ketika sakit kepala kepala negara memberat malah akan lebih otoriter jika terpilih kembali. Toh, ketika Bambang Hendarso mengungkapkan kepada wartawan menanggapi kebisingan Presiden SBY itu, ia (Bambang Hendarso) akan menindak aksi massa itu jika berisik.

Kita tidak tahu, apa yang diartikan dengan berisik itu? Apakah demonstrasi harus tutup mulut? Atau dilarang bersuara ketika turun ke lapangan? Bagaimana dengan ucapan Presiden SBY yang mengutarakan "Aksi demo bukan tindak pidana"?**

Tidak ada komentar: