KPU dan Panwas Bisa Terindikasi Menggagalkan Pemilu 2009


Sudah tinggal menghitung waktu untuk menuju Pemilihan Umum (Legislatif) 2009. Namun, melihat waktu yang amat sempit ini bukan tidak mustahil bahwa semuanya akan berjalan lancar sesuai dengan apa yang direncanakan. Pemilu 2009 banyak surat suara yang tidak sah dikarenakan banyak pemilih yang sudah diketahui sebagai daftar pemilih tetap (DPT)—bahkan gagal dalam pemilihan.

Nah, hal inilah yang wajib diantispasi sebagai orang intelektual baik yang ada di eksekutif maupun jajarannya—mungkin hingga ke legislatif yang mengurusi tentang pemilu. Jika kita analisa hal terbaru yang ditemukan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi sudah bukan main susahnya untuk dipraktikkan oleh warga atau DPT. Kecenderungan dari penyosialisasian ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) jika kita evaluasi untuk kinerja belumlah maksimal. Bagaimana hal ini untuk menghadapi swing voter yang jelas-jelas bukan surat suara yang tidak sah— malah tidak memilih sama sekali.

Nah, keruan hal ini membuat para calon legislatif untuk menyosialisasikan agar terselenggaranya pemilihan secara maksimal. Namun, memang negara ini perlu aturan ketika Panitia Pengawas Pemilu yang bertindak sebagai “polisi” Pemilu, menetapkan jumlah massa dalam sosialisasi maksimal 200 orang. Bagaimana hal ini bisa terwujudkan jika seluruh rakyat Indonesia mengetahui bagaimana agar penyontrengan bisa berjalan lancar. Sementara, caleg pun kena diskualifikasi ketika melebihi kuota yang ditentukan. Agar menjadi informasi bagi sebagian banyak eksekutif dan jajarannya dalam hal ini KPU dan Panwaslu, bahwa gaya-gaya seperti ini bisa dianggap untuk menggagalkan pemilu. Coba perhatikan saja.

Pemimpin yang tak Mempunyai Jiwa Pancasila


Masanya hampir mendekati pemilihan umum 2009 yang nanti rencananya akan berlangsung pada 9 April 2009. Hampir semua partai politik mengusung isu populis seperti peningkatan sumberdaya manusia agar tidak menjadi negeri miskin. Bahkan, ada parpol yang tak ragu-ragu menggembor-gemborkan hal yang seharusnya sudah terjadi beberapa waktu (baca: tahun) lalu, sperti penurunan bahan bakar minyak.

Pemerintah yang saat ini masih menjabat yakni diambil tanda kutip oleh rakyat hasil Pemilu 2004—romannya sudah tidak lagi mencerminkan sebagai pemimpin bangsa. Lebih dari sekedar euforia kekuasaan—katakan saja di sini Susilo Bambang Yudhoyono—bukanlah tipikal pemimpin rakyat Indonesia secara keseluruhan. Padahal, sebagai presiden adalah pemimpin bangsa yang ketika saat itu dipilih langsung oleh rakyat. Tapi, kenyataannya tidak lebih dari sekedar pemimpin yang lebih mengutamankan golongannya.

Ini jelas tidak sesuai dengan semangat Pancasila. Lebih jelasnya sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia butir (1) Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang artinya, persatuan dan kesatuan dilihat dari kacamata leadership mungkin kepala negara ini ada di bawah rata-rata. Apalagi, kalau kita lihat butir (2) Rela berkorban demi bangsa dan negara. Silahkan pembaca bisa menafsirkan sendiri atas kondisi dan situasi terakhir.

Masanya saat ini rakyat (termasuk penulis) harus bisa melihat jeli sejauh mana kondisi yang saat ini tidak ada kemajuan sama sekali menjadi batu loncatan agar bisa memilih pemimpin yang bisa mendahulukan kepentingan umum seperti kebutuhan pangan yang terjangkau—ketimbang kepentingan pribadi. Ibarat pepatah yang mengatakan, jangan sampai kita terperosok pada lubang yang sama pada waktu yang sudah berlalu.

Kejadian demi kejadian hanya bisa dijadikan kendaraan politis oleh kepala negara yang notabenenya sebagai dewan pembina Partai Demokrat. Agar menjadi catatan sejarah bangsa, pemimpin pertama yang dipilih langsung oleh rakyat hanya sekadar label sebagai pemimpin bangsa. Terlebih, awal tahun 2009 ini indek kemiskinan makin bertambah, tapi penurunan BBM yang sangat tidak tepat dijadikan poin kesuksesan. Ironi sekali!