Berpolitik (yang) tak Etis


Sampai beberapa waktu yang lalu kepada beberapa media massa nasional Menteri Komunikasi dan nformatika Muhammad Nuh menyebutkan bahwa iklan partai politik masih sangat etis melihat dari makin bergeraknya partai mengampanyekan dirinya kepada publik melalui media televisi dan cetak. Tapi, kelayakan seorang menteri yang notabenenya sebagai kepanjangan tangan dari presiden.

Namun, kenyataannya dalam rentan waktu yang bersamaan (antara November dan Desember 2008)—yakni sebelum maupun setelah Muhammad Nuh mengungkapkan hal tersebut—sangat tidak tidak obyektif.

Jika kita runut dari awal ketika departemen yang mengiklan diri di media televisi dan radio terbukti kesuksesan belaka dari program departemen yang sudah diterapkan kepada masyarakat. Meski tidak semua departemen, ini dipandang sebagai kuda-kuda SBY sebelum ia dengan berani mengiklankan dirinya sebagai presiden yang sukses tanda kutip dan sebagai pentolan Partai Demokrat.

Jelas dari sini saja terlihat bahwa etikanya memang sudah tidak jujur. Apalagi terakhir sempat diributkan sesama partai pendukung penguasa, yakni Partai Golkar, yang tidak setuju atas pengklaiman Partai Demokrat tentang sudah tiga kali BBM diturunkan. Lantas, apa faedahnya?

Mestinya, tidak usah sampai diributkan, dengan pengiklanan itu saja Partai Demokrat, khususnya SBY, sudah mendzalimi rakyat atas penurunan (tiga kali) BBM.

Mungkin hal yang wajar jika saingan politik SBY menyebut “jangan mempermainkan rakyat seperti permainan yoyo”. Toh, kenyataannya memang seperti ini. Bahkan, saking tidak terima Andi Mallarangeng pun menjawab dengan logika anak kecil. Apa iya, watak pemimpin selanjutnya bagi negeri ini harus seperti ini? Kasihan kami sebagai rakyat yang ada di bawah.

Jangan salahkan rakyat, jika hal ini bagi SBY yang masih berkuasa mempunyai tim yang kurang membangun dalam setiap ungkapan yang dilontarkan—kalau rakyat tidak lagi simpati kepada Partai Demokrat.

Jenderal pun Bertindak (Sehubungan ABS)


Keputusan TNI untuk tidak berpolitik bukan serta merta menjadi materi urgensi dalam kumpul-kumpul purnawirawan sehubungan pertemuan di Balai Kartini dan ABS (Asal Bukan capres S). Tapi, kebutuhan politik untuk mengubah arah jalannya pemerintahan terlebih menjelang Pemilu 2009.

Ini merupakan kedewasaan purnawirawan yang mana kebanyakan yang pernah pada posisi jenderal, merasa peduli akan nasib bangsa yang tidak karu-karuan belakangan ini. Bahkan, di media massa ibukota juga memberitakan bahwa pemerintah mempertontonkan kemiskinan negeri ini.

Seharusnya SBY tidak bertindak seperti itu, tapi malah mengurangi angka kemiskinan dengan memberdayakan dan menggiatkan semua program ekonomi kemasyarakatan agar angka kemiskinan menurun. Namun, kenyataannya malah dijadikan obyek iklan politik yang mengklaim keberhasilan pemerintah. Realita ini sebuah hal yang wajar apabila mantan jenderal bangsa ini memutuskan harus turun tangan.**

Fatwa Haram Golput Tidak Negatif


Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang fatwa haram golput mendapat berbagai sambutan baik positif maupun negatif. Jika kita bicara yang positifnya, memang fatwa tersebut layak jika kita ungkapkan kepada kelompok yang selalu mendengungkan golput. Karena, dengan golput itu sendiri ibarat kita sudah mendzalimi diri kita sendiri. Siapa tahu, suara yang kita berikan untuk Pemilu 2009 akan membawa perubahan bagi negeri kita tercinta.

Tapi, kalau yang negatif bahwa fatwa haram itu seolah-olah membatasi hak seseorang untuk tidak memilih, bisa juga. Namun, saran tersebut sudah bukan waktunya untuk saat ini. Bahkan, demi kedewasaan negeri ini selanjutnya dibutuhkan keberanian dan tanggung jawab seseorang akan nasib bangsa ini ke depan.

Seperti halnya disebutkan oleh mantan presiden RI, Megawati Soekarnoputri, bahwa yang tidak menggunakan suaranya untuk Pemilu 2009 nanti bukan warga negara Indonesia. Dalam hal ini saya sangat sepakat, karena siapa lagi yang peduli akan nasib bangsa ke depan.**