Demi Menjaga Citra Baik, Tapi Tak Patut Dicontoh


DEMI seorang Anggodo, polisi seperti gelap mata. Rambu-rambu hukum ataupun kepatutan dilabrak asal memenuhi keinginan pengusaha asal Surabaya itu.

Tidak berlebihan untuk mengatakan begini. Polisi seperti tidak terganggu kehormatan dan harga dirinya ketika rekaman pembicaraan Anggodo diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi. Rekaman yang membuat harga diri bangsa amat terganggu itu malah membuat polisi semakin mengistimewakan Anggodo.

Pengusaha yang kini diketahui sebagai makelar kasus berpengaruh itu sampai sekarang belum bisa ditetapkan sebagai tersangka. Polisi, yang biasanya pandai mencari jerat-jerat hukum untuk melumpuhkan penjahat, tidak mampu menemukan kesalahan Anggodo setitik pun.

Padahal, semua yang mendengar pembicaraan Anggodo yang dibuka di Mahkamah Konstitusi tahu bahwa dialah inisiator penting dari perkara Bibit-Chandra yang kini mengguncang kredibilitas serta kehormatan bangsa dan negara kita.

Dengan alasan melindungi hak setiap warga negara, polisi kemudian menjadi pengawal Anggodo. Setiap saat Anggodo bisa muncul di Mabes Polri melalui pengelabuan yang rapi. Banyak lagi dosa Anggodo yang menurut common sense publik patut dipersalahkan, tetapi oleh polisi dibela mati-matian dengan alasan demi proses dan fakta hukum.

Polisi sekarang dipaksa lagi melabrak rambu yang semakin mengancam kredibilitas yang memang sudah amat merosot gara-gara Anggodo. Atas laporan Anggodo yang merasa haknya dilanggar, polisi memanggil orang pers untuk didengar keterangan.

Polisi, yang kembali dikecam karena mengambil risiko menggertak pers, memberi alasan berubah-ubah. Dalam surat pemanggilan jelas tercantum kaitan dengan laporan Anggodo. Namun, polisi yang pagi hari membatalkan pemanggilan ternyata siang hari melanjutkan pemanggilan. Alasan pun berubah-ubah. Demi dan bukan karena Anggodo.

Namun, alasan yang kelihatan berubah-ubah amat cepat itu tidak semata menunjukkan polisi kehilangan profesionalitasnya. Tetapi membenarkan sekali lagi bahwa polisi memang terkooptasi berat oleh seorang Anggodo. Itulah malapetaka mafia hukum.

Polisi amat paham bahwa pers memiliki undang-undang tersendiri yang harus dipatuhi dan dilindungi. Karena itu, pers atau wartawan tidak bisa dimintai keterangan sejauh menyangkut apa yang ditulis. Karena tulisan atau teks yang disiarkan dan terbaca itulah bukti.

Mengapa Indonesia mengadopsi lex specialist bagi pers? Tentu, tidak semata karena mengikuti apa yang dipraktikkan di negara lain. Tetapi yang jauh lebih penting adalah undang-undang yang menjamin kebebasan pers dilahirkan karena kita semua sadar akan bencana di masa lalu yang timbul karena pers dibungkam. Polisi yang waktu itu menjadi bagian dari militer adalah unsur penting yang membungkam pers.

Masak, polisi sekarang mau membawa kembali bangsa ini ke alam kelam masa lalu hanya karena kepentingan seorang Anggodo?


Sumber: Media Indonesia

Apa Bedanya?


Susno Duadji memecut saya buka kamus. Tentu bukan karena kepala Bareskrim Markas Besar Kepolisian itu melontarkan istilah hukum yang ruwet-rumit dalam berbagai pollung di televisi, melainkan disebabkan metaforanya yang terpegah, cicak melawan buaya, untuk menggambarkan ketaksebandingan kuasa antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian sebagai sesama lembaga penegak hukum.

Selaku orang yang mewajibkan diri mematut-matut apa pun yang berkelindan dengan bahasa sendiri, saya merasa bahwa cecak oleh pekamus macam WJS Poerwadarminta dianggap sebagai bentuk baku bagi sebutan binatang merayap yang kerap tampak di dinding maupun di langit-langit rumah itu. Betul saja, baik Kamus Umum Mas Poer maupun Kamus Besar Pusat Bahasa (semua edisi) sama-sama memperlakukan cecak sebagai wujud baku dan mendudukkan cicak selaku varian tak baku.

Google bersaksi lain. Penyelisikan pada 19 November 2009 pukul 9.41 waktu Jakarta: 162.000 untuk cecak dan 2.210.000 bagi cicak. Saya tak sempat periksa dengan rinci apakah penggelembungan ketergunaan cicak ini berkat budi baik Susno Duadji.

Di bangku taman kanak-kanak hewan bernama semestawi Hemidactylus frenatus itu diperkenalkan kepada anak-anak Indonesia melalui dendang: ”cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hap! lalu ditangkap”. Bisa saja alasan bunyi ”i”—sebab ada dinding yang diperdengarkan kemudian dalam baris itu—yang mendasari pemakaian kata cicak dalam lagu ini. Namun, kesengajaan menyimpang dari bentuk baku, cecak, atas nama licentia poetica tak selalu merasuki kesadaran kaum awam. Itu barangkali sebabnya seorang Susno Duadji dan pebahasa Indonesia dalam jumlah yang lebih serta-merta melafazkan cicak. Tinggallah cecak membaku dan membeku di dalam kamus dan sesekali membesut dalam teks.

Pekamus lain, John M Echols dan Hassan Shadily, justru memutuskan cicak, small house lizard, sebagai sosok baku. Pebahasa Inggris diperintahkannya pada lema cecak untuk mengail padanan dari entri cicak.

Bagi saya cecak dan cicak, atas nama proses ablaut dalam linguistik, setali tiga uang. Namun, bagi mereka yang mau berketat-ketat dengan kebakuan, ini saran saya. Di kamus cecak terjumpa dalam tiga lema. Satu sudah kita bahas. Dua lainnya: cecak sebagai kata kerja dan berasal dari bahasa Minangkabu bermakna cubit; cecak selaku kata benda dengan arti ’bintik-bintik atau belang-belang kecil’.

Cicak? Tercatat hanya punya satu makna. Dia belum berhomonim. Bebannya ringan, dibandingkan dengan cecak yang menggendong tiga takrif. Maka, dengan lafaz Susno Duadji yang diperdengarkan televisi hari-hari ini sebagai momentum, ini saatnya melantik cicak dengan beban (makna) yang lebih enteng sebagai figur baku. Ini sesuai dengan tuntutan bahasa modern yang berupaya meminimalkan beban setiap kata.

Oh, ya, saya hampir lupa mengintroduksi Bareskrim. Tentu ini bukan cara lain menulis bar es krim, tempat minum dan kongko-kongko dengan es krim sebagai suguhan utama. Bareskrim adalah nama bagian di lembaga Kepolisian Republik Indonesia, akronim dari Badan Reserse Kriminal.(Salomo Simanungkalit)


Sumber: Kompas Online

Up To You or Re-General Election


Apa pun langkah yang akan diambil oleh Presiden, Tim Verifikasi Fakta dan Proses Hukum kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto alias Tim 8 telah membuat sejarah. Mereka tak sekadar menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan kasus kedua pejabat nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi itu. Tim ini juga berani merekomendasikan agar pejabat yang bertanggung jawab atas pemaksaan kasus ini diberi sanksi.

Rekomendasi itu didukung dengan temuan-temuan penting yang dituangkan dalam laporan setebal 31 halaman. Di situ tergambar jelas kejanggalan kasus Bibit-Chandra, dari landasan penyidikan hingga penerapan delik. Kesimpulannya pun tegas: tuduhan bahwa kedua tersangka melakukan pemerasan terhadap Anggoro Widjojo--tersangka kasus korupsi PT Masaro Radiokom--dibangun lewat bukti-bukti yang lemah. Begitu pula, tuduhan penyalahgunaan wewenang terhadap mereka amat dipaksakan.

Pemaksaan kasus Bibit-Chandra diduga dipicu oleh konflik antara kepolisian dan KPK. Perseteruan ini memanas setelah telepon Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji tersadap KPK. Tim 8 juga mencatat adanya praktek mafia hukum. Indikasinya adalah rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo, adik Anggoro, dengan pejabat kejaksaan dan kepolisian yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi.

Itulah poin penting laporan Tim 8 yang disampaikan kepada Presiden kemarin. Temuan ini membuktikan bahwa kecurigaan publik selama ini tidaklah mengada-ada atau hanya didasari pembelaan yang membabi-buta terhadap KPK. Rasa keadilan masyarakat yang terusik ini ditumpahkan lewat aksi protes di dunia maya maupun lewat demonstrasi di berbagai kota.

Presiden Yudhoyono seharusnya tidak berpikir terlalu lama untuk melaksanakan rekomendasi itu. Yang harus diingat, melaksanakan rekomendasi ini tidak berarti mengintervensi proses hukum. Bila memang tak cukup bukti--kejaksaan telah beberapa kali mengembalikan berkas Bibit dan Chandra--mengapa harus dilanjutkan?

Hukum menyediakan jalan keluar untuk ini, yakni kepolisian menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau kejaksaan menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP). Dengan alasan demi kepentingan umum, Jaksa Agung juga dapat mendeponir perkara ini.

Tragedi Bibit-Chandra harus pula dijadikan momentum untuk mereformasi total kepolisian dan kejaksaan. Publik akan menganggap pemerintah tidak serius memerangi korupsi, termasuk memberantas mafia hukum, jika pejabat yang terlibat permainan ini dibiarkan saja. Kredibilitas pemerintah juga akan semakin diragukan bila pejabat yang bertanggung atas rekayasa kasus Bibit-Chandra tidak diberi sanksi setimpal.

Pemerintah tak perlu membuat publik semakin kecewa dan kehilangan harapan. Inilah saatnya Presiden Yudhoyono membuat gebrakan besar untuk membenahi karut-marut penegakan hukum di negeri ini. Pemerintah melakukan kesalahan besar jika momen bersejarah yang dirintis Tim 8 disia-siakan.


Sumber: Tempo Interaktif

Urutan Tertinggi Tapi Tak Membanggakan


Jakarta--Indeks persepsi korupsi Indonesia menempati posisi kelima dari 10 negara ASEAN. Tahun 2009 berdasarkan Transparency International Indonesia, skor Indonesia mencapai 2,8 atau naik dari tahun lalu sebesar 2,6.

Dengan demikian posisi Indonesia berada di bawah langsung Thailand yang mencapai skor 3,4 menempati posisi ke-4, kemudian Malaysia dengan skor 4,5 berada di posisi ke-3, Brunei Darussalam dengan skor 5,5 menempati posisi ke-2 dan posisi teratas dipegang oleh Singapura dengan skor 9,2.

Sedangkan posisi di bawah Indonesia antara lain Vietnam yang memiliki skor 2,7 menempati posisi ke-6, disambung Filipina dengan skor 2,4 menempati posisi ke-7, Kamboja memiliki skor 2 dengen peringkat ke-9, Laos skor 2 berada di posisi ke-9 dan posisu buncit ditempati oleh Myanmar dengan skor 1,4.

Ketua Badan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis mengatakan posisi ke-5 di ASEAN belum menjadi ukuran buat Indonesia. Terlebih lagi sebelum mencapai skor 5, Indonesia belum bisa dikatakan lulus karena angka itu terbilang sangat minim.

"Skor suatu negara jauh lebih penting dari pada rangkingnya," kata Todung acara peluncuran indeks persepsi korupsi 2009, di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, Selasa (17/11/2009).

Sementara itu Sekjen Tranparency International Indonesia Teten Masduki mengatakan dengan meraih skor 2,8 pada tahun ini, posisi Indonesia dari indeks persepsi korupsi masih menempatkan Indonesia sebagai negara yang dipersepsikan korup. Perubahan dari 2,6 menjadi 2,8 pada tahun ini tidak terlalu signifikan.

"Kenaikan sebesar 0,2 tersebut tidak perlu dilihat sebagai suatu prestasi yang harus dibangga-banggakan," kata Teten.

Indeks persepsi korupsi (IPK) tahun 2009 berdasarkan Transparency International mengukur skala persepsi korupsi dengan skala 0 berarti dipersepsikan paling korup, sedangkan hingga angka 10 berarti dipersepsikan paling tidak korup (paling bersih).


Sumber: Detik.com

Tinggal Bergantung Padamu, Mr. President


Pertemuan Tim Delapan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru akan berlangsung Selasa ini. Publik berharap ada solusi permanen.

Proses hukum yang dilakukan Polri terhadap Wakil Ketua (nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah telah menciptakan situasi penuh ketidakpastian. Rakyat terbelah. Aksi jalanan terjadi. Lembaga negara berbeda sikap. Ketua MK dan Ketua MA, melalui pernyataannya di media, berbeda pandangan dengan Komisi III DPR bersama Polri. Masalahnya pun kian melebar.

Situasi penuh ketidakpastian yang dibiarkan lebih dari tiga minggu ini jelas tidak menguntungkan pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Yudhoyono dan Wapres Boediono! Keinginan pemerintah untuk segera bisa merealisasikan program 100 hari seakan tersandera dengan kasus ini. Sudah 29 hari waktu terbuang!

Tim Delapan yang dibentuk Presiden Yudhoyono dengan keputusan presiden menilai belum ada bukti kuat soal penyuapan terhadap Bibit dan Chandra. Uang suap terhenti pada Ary Muladi. Polri merasa yakin dengan petunjuk yang dimilikinya. Dengan didukung Komisi III DPR—yang sikap politiknya dikritik banyak kalangan karena berbeda dengan aspirasi rakyat yang diwakilinya—memilih untuk mendorong kasus ini ke pengadilan.

Apa yang terjadi sekarang ini adalah krisis kepercayaan pada lembaga penegak hukum. Sepak terjang Anggodo Widjojo telah menampar muka kita dan kita tak berdaya menghadapinya. Kita berharap Presiden bisa mengambil solusi mengakhiri kasus yang memiliki sensitivitas politik tinggi. Solusi yang mampu mengakomodasi prinsip kepastian hukum dan keadilan memberikan energi baru untuk memerangi korupsi, melakukan konsolidasi institusi, dan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang terjadi. Mendengar Tim Delapan adalah pilihan rasional.

Sebagaimana terekam dalam pemberitaan, ada beberapa alternatif solusi yang mengemuka. Kelompok masyarakat sipil mengusulkan penghentian penyidikan karena sesuai dengan temuan Tim Delapan bukti tidak mencukupi. Sebagaimana dikutip Tempo, usulan ini didukung Ketua MA Harifin Tumpa. Bola ini ada di tangan kepolisian.

Kejaksaan bisa mengambil peranan dengan menghentikan penuntutan. Langkah ini bisa diambil daripada berkas perkara bolak-balik antara Polri dan kejaksaan. Jaksa Agung pun sebenarnya punya kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Sesuai dengan Pasal 14 UUD 1945, Presiden pun bisa mengambil langkah dengan memberikan abolisi. Namun, untuk pemberian abolisi, Presiden perlu mendengar pertimbangan DPR.

Alternatif terakhir adalah membiarkan kasus ini bergulir ke pengadilan. Selain akan memakan waktu lama, proses ini sekaligus juga akan mendelegitimasi rekomendasi Tim Delapan yang dibentuk Presiden sendiri. Pilihan ini juga bisa mengganggu agenda pemberantasan korupsi.

Kini, kepemimpinan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara dinantikan!


Sumber: Kompas

Isapan Jempol 2012


Washington -- Demam film bertema kiamat, "2012" tengah melanda. Banyak pertanyaan muncul terkait ramalan kiamat tahun 2012 itu.

Salah satunya mengenai kisah munculnya prediksi kiamat tersebut. Awal prediksi kiamat tersebut bermula dari klaim bahwa Nibiru, planet yang diduga ditemukan Bangsa Sumeria tengah melaju menuju Bumi.

Bencana awalnya diprediksi datang pada Mei 2003. Namun karena tidak ada yang terjadi pada hari yang ditentukan itu, prediksi kiamat beralih ke Desember 2012. Kemudian dihubungkanlah dengan kisah berakhirnya sistem penanggalan suku Maya kuno pada musim dingin 2012 dan diprediksi tanggal kiamat jatuh pada 21 Desember 2012.

Tapi benarkah ada planet bernama Nibiru atau Planet X atau Eris yang sedang mendekati Bumi dan mengancam planet kita dengan kerusakan luas? Menurut NASA dalam situsnya, Nibiru dan kisah lainnya mengenai planet yang tengah menuju Bumi hanyalah hoax internet. Tak ada dasar untuk mendukung klaim tersebut.

Lebih lanjut dinyatakan NASA, jika Nibiru atau Planet memang ada dan tengah akan menuju Bumi pada tahun 2010, maka para astronom pasti sudah akan mengetahuinya setidaknya pada satu dekade terakhir. Dan planet itu harusnya bisa terlihat dengan mata telanjang saat ini.

Jelas sekali itu tidak nyata. Sedangkan Eris meski nyata adanya, namun itu merupakan planet kecil mirip dengan Pluto yang akan tetap berada jauh dari Bumi. Jarak terdekat dengan Bumi yang mungkin adalah sekitar 4 miliar mil.

Banyak pula yang menanyakan tentang teori pergeseran kutub. Mungkinkah itu terjadi? Menurut NASA, pergeseran rotasi Bumi mustahil terjadi. Memang ada pergerakan lamban benua-benua (misalnya Antartika yang dekat dengan ekuator ratusan juta tahun silam), namun ini tidak relevan dengan klaim pergeseran kutub.

Lantas apakah Bumi terancam ditabrak oleh meteor pada tahun 2012? Menurut NASA, Bumi memang akan selalu bisa mengalami tubrukan dengan komet dan asteroid, meskipun tabrakan besar sangat jarang terjadi.

Tabrakan besar terakhir adalah 65 juta tahun lampau. Dan itu menyebabkan musnahnya dinosaurus. Kini para astronom NASA sedang melakukan survei yang disebut Spaceguard Survey untuk menemukan ada tidaknya asteroid-asteroid besar dekat Bumi sebelum menabrak Bumi.

"Kami telah memastikan bahwa tak ada ancaman asteroid sebesar asteroid yang memusnahkan dinosaurus," demikian NASA dalam statemennya.

"Semua pekerjaan ini dilakukan secara terbuka dengan temuan-temuan diposting setiap hari di situs NASA NEO Program Office. Jadi Anda bisa melihat sendiri tak ada yang diprediksi akan menabrak Bumi pada tahun 2012," tandas NASA.


Sumber: Detik.com

Manfaat Origami


BANDUNG--Mungkin, banyak yang beranggapan origami hanya sekadar hobi. Tapi ternyata tidak karena manfaat origami bisa berefek pada lingkungan, dekorasi dan juga menghasilkan materi.

Origami berasal dari bahasa Jepang. Gabungan dari kata Ori yang berarti melipat dan gami yang berarti kertas. Menurut Maya Hirai, pendiri Sanggar Origami Indonesia, origami didefinisikan sebagai seni mengubah selembar kertas menjadi bentuk yang unik dan merupakan miniatur benda-benda yang ada di alam.

Pada dasarnya, tutur Maya, semua kertas bisa digunakan untuk origami. Meskipun untuk awal biasanya kertas dengan dua muka lebih banyak digunakan untuk mempermudah proses pembelajaran. Namun setelah piawai, boleh menggunakan kertas apapun.

Sebab menurut Maya fungsi origami salah satunya bisa menyentuh limbah kertas. "Kertas brosur, kertas koran bisa dimanfaatkan," tutur ibu tiga putra ini.

Melalui tekhnik origami kertas-kertas tersebut bisa lebih berguna. Tinggal dibuat lebih menarik, kertas pun bisa jad dekorasi atau hiasan untuk acara pesta.Dalam pembuatannya pun tidak hanya satu lapis kertas tapi bisa berlapis-lapis, tergantung objek yang akan dibuat.

Namun, lanjut Maya, origami sebagai fungsi atau benda pakai masih sedikit. Misalnya, benda yang sudah bisa dibuat dengan tekhnik origami adalah wadah.

Bagi Maya, origami adalah sebuah karya seni. Jika ditekuni, origami juga bisa menghasilkan materi.

Seperti halnya Maya yang pernah membuat diorama origami yang kini dipajang di Hotel Nikko Jakarta. Bahkan beberapa anggota Sanggar Origami Indonesia ada yang membuat anting-anting, bros, hiasan, boneka yang menggunakan tekhnik origami.


Sumber: Detik.com

Lagi-lagi Perbuatan Nato


Kementerian Pertahanan Afganistan, Sabtu (7/11), menegaskan bahwa sebuah serangan yang dilancarkan pasukan NATO di Provinsi Badghis, barat laut Afganistan, pada Jumat lalu salah sasaran dan mengenai pasukan koalisi dan pasukan keamanan Afganistan. Empat tentara dan tiga polisi Afganistan dilaporkan tewas akibat serangan yang salah sasaran tersebut.

Belum diperoleh konfirmasi dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tentang insiden fatal ini.

Hanya saja, menurut juru bicara Kementerian Pertahanan Afganistan, Jenderal Mohammad Zahir Azimi, dan juga juru bicara kepolisian, Raouf Ahmadi, serangan yang salah itu juga mengakibatkan 15 tentara Afganistan serta seorang anggota polisi cedera.

Kini insiden itu dalam penyelidikan pihak NATO dan keamanan Afganistan, dan dalam waktu dekat hasil laporan mereka akan dipublikasikan.

Markas NATO di Kabul hanya menyatakan bahwa lebih dari 25 anggota pasukan NATO dan keamanan Afganistan terluka saat dilakukannya aksi pencarian dua penerjun AS yang melakukan operasi rutin pengiriman logistik di wilayah terisolasi di barat laut Afganistan. Markas NATO tak mengungkapkan soal salah serangan, seperti yang diungkapkan Kementerian Pertahanan Afganistan.

Sementara itu, menurut seorang juru bicara Palang Merah, Walid Akbar, pada insiden terpisah pasukan NATO juga salah sasaran, menyerang sebuah kantor Palang Merah di kota Qalat, Sabtu dini hari. Seorang penjaga keamanan tewas dan menawan tiga petugas lokal Palang Merah.

Tenggelam atau ditawan

Dua personel AS yang hilang saat terjun dalam misi pengiriman persediaan pada Rabu lalu—berasal dari Brigade Tempur ke-4 Divisi Serangan Udara—masih belum diketahui nasibnya. Tidak diketahui apakah mereka ditawan pihak Taliban atau tenggelam disapu arus sungai saat mereka berupaya mengambil barang persediaan yang hanyut.

Insiden yang kemudian diberitakan salah sasaran serangan itu diyakini terjadi saat pasukan bantuan internasional NATO, ISAF, berhadapan dengan tentara Afganistan yang tengah berupaya mencari dua tentara AS yang hilang itu.

Semula pasukan Afganistan itu bertempur melawan Taliban, yang diduga menawan dua tentara AS tersebut. Pesawat-pesawat tempur pasukan gabungan dimintai bantuan untuk mendukung serangan tersebut. Ternyata pesawat-pesawat tersebut malah salah sasaran saat membantu mereka.

Menurut sumber Taliban, jumlah korban bahkan lebih dari yang disebutkan pihak Afganistan. Juru bicara Taliban, Qari Yusuf Ahmadi, mengatakan, ”Korban tewas dari salah sasaran bom adalah 32 tentara gabungan dan 43 tentara Afganistan tewas.”

Menurut Yusuf Ahmadi, semula memang terjadi kontak senjata antara Taliban dan pasukan Afganistan serta pasukan gabungan di Distrik Murghab, Provinsi Badghis.

”Pertempuran berlangsung sekitar 4 jam, sangat sengit, dari jarak dekat. Namun, pada akhir senja hari pasukan asing mengebom tempat pertempuran dan mereka salah sasaran,” kata juru bicara Taliban ini pula.

Saat pertempuran berlangsung, di bagian lain Afganistan juga tengah dilakukan relokasi sekitar 200 anggota staf asing PBB setelah insiden serangan yang menelan korban di markas PBB, 28 Oktober lalu.

”Sekitar 200 anggota staf dipindah, bukan 600 orang,” ungkap Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon, Sabtu.

Sumber: KOMPAS Online

DPR Melawan Suara Rakyat


JAKARTA--Dewan Perwakilan Rakyat dinilai berat sebelah dalam membela kepolisian melalui rapat kerja yang berlangsung hingga Jumat (6/11) dini hari. Sikap itu dinilai menentang arus besar karena rakyat mengharapkan sikap Dewan yang lebih kritis.

Demikian pendapat sejumlah kalangan secara terpisah di Jakarta, Jumat.

Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latif menilai DPR telah menentang arus besar rakyat. ”Kita berharap DPR bisa lebih kritis terhadap proses hukum yang dilakukan polisi, bukan DPR yang menjadi pembela polisi,” katanya.

Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, DPR tak lagi bisa diharapkan mewakili suara rakyat. ”Ketika suara rakyat sudah begitu meluas dan mencapai sekitar sejuta suara di dunia maya, DPR seperti tidur. Tetapi, begitu mendengar penjelasan petinggi Polri dalam rapat kerja, DPR seakan sudah mendengar kebenaran,” ujarnya.

Sulit jadi penyeimbang
Yudi menambahkan, DPR sulit diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang pihak eksekutif. ”Mayoritas kekuatan DPR telah dipakai oleh kekuasaan. Sedangkan pihak oposisi sebagian disandera oleh kasus lain, misalnya dugaan penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom,” katanya.

Hal senada disampaikan Edy. ”DPR takut berseberangan dengan Polri karena bisa membuka aib sendiri. Kita kini kembali ke masa ketika oposisi sudah mati dan tak ada lagi kekuatan penyeimbang,” katanya.

Rusdi Marpaung dan Al Araf dari Imparsial juga menilai peran dan fungsi parlemen sebagai institusi pengawasan tidak dilakukan. ”Dalam rapat kerja itu tidak terlihat fungsi checks and balances DPR,” kata Al Araf.

Tak sensitif
Sikap sebagian besar anggota DPR juga dianggap tidak sensitif. ”DPR menunjukkan kepada publik secara telanjang bagaimana kualitas yang sesungguhnya,” kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang.

Menurut dia, rapat itu seharusnya digunakan untuk mengklarifikasi berbagai dugaan dan rasa ketidakadilan yang muncul dalam masyarakat. Publikasi rapat juga dinilai tidak seimbang. Rapat dengan Polri disiarkan secara langsung, tetapi rapat dengan KPK tidak.

TA Legowo, Koordinator Advokasi Formappi, menambahkan, sebagai pembawa aspirasi masyarakat, DPR seharusnya menyuarakan rasa ketidakadilan publik. Anggota DPR seharusnya mengajukan bukti-bukti bantahan, bukan menelan penjelasan mitra kerja mentah-mentah. Kekurangpekaan itu membuat masyarakat semakin bingung, kepada siapa lagi mereka harus percaya dalam hal penegakan hukum.

”Mengapa Komisi III kehilangan sikap kritis dan daya gedor? Mengapa mereka tidak menanyakan tentang Susno Duadji yang masih hadir meski telah mundur sementara?” ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti.

Rumah rakyat
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Fahri Hamzah mengatakan, DPR merupakan rumah rakyat. Siapa saja boleh datang, termasuk Polri.

Soal adanya tepuk tangan sejumlah anggota Komisi III setelah mendengar penjelasan Kepala Polri dan Susno, Fahri mengatakan, ”Kalau satu tepuk tangan, ya kadang-kadang lainnya jadi ikut.”

Sementara Ruhut Sitompul dari Fraksi Partai Demokrat mengatakan, ”Kami yang baru-baru ini masih belajar.”

Namun, lanjutnya, beberapa kali ia telah mengeluarkan pernyataan keras, seperti Susno dan para penyidik Polri harus mundur jika kelak pengadilan membebaskan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Ajang penghakiman

Anies Baswedan, anggota Tim Delapan, mengatakan, rapat kerja DPR bukanlah ajang pengadilan untuk menghakimi institusi lain, tetapi untuk mendapatkan masukan dalam perbaikan kinerja pada masa mendatang. ”Seharusnya DPR berhati-hati dengan asas praduga tidak bersalah,” katanya.

Ungkapan senada dikemukakan ahli hukum tata negara Saldi Isra dan peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti. Rapat Komisi III ibaratnya teater untuk mengimbangi persidangan Mahkamah Konstitusi. Padahal, keduanya merupakan hal yang berbeda. Data yang dikeluarkan Kepala Polri sudah diinterpretasi dan disusun sedemikian rupa oleh polisi. ”Beda dengan rekaman pembicaraan di Mahkamah Konstitusi, tidak ada penyusunan secara sistematis,” kata Saldi Isra.

Bagi Ikrar, masuk akal jika Polri berusaha melancarkan perang propaganda seperti itu untuk mengimbangi besarnya dukungan masyarakat selama ini kepada institusi KPK. ”Namun, yang disayangkan, mengapa anggota Komisi III justru menjadi bagian dari upaya propaganda tersebut,” katanya.

Pakar komunikasi dari Universitas Airlangga, Suko Widodo, mengatakan, penjelasan Kepala Polri di DPR akan sulit mengubah opini masyarakat tentang terjadinya kriminalisasi terhadap KPK. ”Sikap Kepala Polri yang defensif malah tidak bisa membangun kepercayaan masyarakat,” katanya.

Sumber: KOMPAS Online