Tinggal Bergantung Padamu, Mr. President


Pertemuan Tim Delapan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru akan berlangsung Selasa ini. Publik berharap ada solusi permanen.

Proses hukum yang dilakukan Polri terhadap Wakil Ketua (nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah telah menciptakan situasi penuh ketidakpastian. Rakyat terbelah. Aksi jalanan terjadi. Lembaga negara berbeda sikap. Ketua MK dan Ketua MA, melalui pernyataannya di media, berbeda pandangan dengan Komisi III DPR bersama Polri. Masalahnya pun kian melebar.

Situasi penuh ketidakpastian yang dibiarkan lebih dari tiga minggu ini jelas tidak menguntungkan pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Yudhoyono dan Wapres Boediono! Keinginan pemerintah untuk segera bisa merealisasikan program 100 hari seakan tersandera dengan kasus ini. Sudah 29 hari waktu terbuang!

Tim Delapan yang dibentuk Presiden Yudhoyono dengan keputusan presiden menilai belum ada bukti kuat soal penyuapan terhadap Bibit dan Chandra. Uang suap terhenti pada Ary Muladi. Polri merasa yakin dengan petunjuk yang dimilikinya. Dengan didukung Komisi III DPR—yang sikap politiknya dikritik banyak kalangan karena berbeda dengan aspirasi rakyat yang diwakilinya—memilih untuk mendorong kasus ini ke pengadilan.

Apa yang terjadi sekarang ini adalah krisis kepercayaan pada lembaga penegak hukum. Sepak terjang Anggodo Widjojo telah menampar muka kita dan kita tak berdaya menghadapinya. Kita berharap Presiden bisa mengambil solusi mengakhiri kasus yang memiliki sensitivitas politik tinggi. Solusi yang mampu mengakomodasi prinsip kepastian hukum dan keadilan memberikan energi baru untuk memerangi korupsi, melakukan konsolidasi institusi, dan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang terjadi. Mendengar Tim Delapan adalah pilihan rasional.

Sebagaimana terekam dalam pemberitaan, ada beberapa alternatif solusi yang mengemuka. Kelompok masyarakat sipil mengusulkan penghentian penyidikan karena sesuai dengan temuan Tim Delapan bukti tidak mencukupi. Sebagaimana dikutip Tempo, usulan ini didukung Ketua MA Harifin Tumpa. Bola ini ada di tangan kepolisian.

Kejaksaan bisa mengambil peranan dengan menghentikan penuntutan. Langkah ini bisa diambil daripada berkas perkara bolak-balik antara Polri dan kejaksaan. Jaksa Agung pun sebenarnya punya kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Sesuai dengan Pasal 14 UUD 1945, Presiden pun bisa mengambil langkah dengan memberikan abolisi. Namun, untuk pemberian abolisi, Presiden perlu mendengar pertimbangan DPR.

Alternatif terakhir adalah membiarkan kasus ini bergulir ke pengadilan. Selain akan memakan waktu lama, proses ini sekaligus juga akan mendelegitimasi rekomendasi Tim Delapan yang dibentuk Presiden sendiri. Pilihan ini juga bisa mengganggu agenda pemberantasan korupsi.

Kini, kepemimpinan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara dinantikan!


Sumber: Kompas

Tidak ada komentar: