Elpiji Masih Langka


Pasokan gas elpiji saat ini bisa dibilang masih sangat minim. Pertamina dalam hal ini perusahaan penyedia bahan bakar (elpiji dan minyak tanah) sudah melakukan apapun yang diperintahkan oleh pemerintahan SBY-JK. Tapi, hal ini malah membuat blunder di masyarakat. Selain antrian yang panjang—sebenarnya bahan bakar itu masih sangat langka di penjual atau agen.

Konversi dari minyak tanah ke elpiji merupakan program pemerintah yang digulirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla hanya isapan jempol belaka. Apalagi untuk ketersediaan elpiji menjelang 2009, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengoordinir program ini mengecap dan menjanjikan kepada masyarakat tidak akan kekurangan pasokan gas elpiji di pasaran.

Ditulis di media cetak di Jakarta beberapa waktu lalu, disebutkan bahwa Pertamina sebagai perusahaan BUMN penyedia elpiji itu, sudah melakukan kewajiban yakni menyediakan pasokan elpiji atas permintaan pemerintah, serta melakukan pengawasan suplai. Selain pemerintah SBY-JK yang tidak peka dalam menghitung kekurangan elpiji serta penyediaan atau suplai, juga lalai dalam memenuhi janji.**

Janji?


Sekilas memang pernyataan/statement yang mengharukan. Ketika Presiden SBY akan kembali menurunkan harga solar sebesar Rp500 per liter karena melihat kondisi nelayan kita. Pernyataan yang disambut oleh kebanyakan masyarakat nelayan di Gresik, Jawa Timur, itu, tak tanggung-tanggung janji lagi yang dilontarkan Presiden SBY.

Janji-janji SBY-Kalla dulu (kampanye ketika Pemilu 2004) yang kini banyak yang “gombal” karena kondisi global, salah satunya dengan naik-turunnya harga minyak dunia—tak hanya sekedar didiskon, bahkan direduksi. Kenapa mesti dikatakan “Presiden berjanji kepada nelayan”? Atau, “Demi nelayan”? Apakah kita sudah “tebal muka” ketika janji yang tak terlaksana.

Bak, menyiram air di padang pasir tandus. Jadi, tetaplah air itu simbol air, dan gurun simbol kering tandus. Masyarakat kini sudah mendapat “antibiotik” yang teramat banyak. Tapi, tidak berarti terus menerus seperti ini kondisinya. Apalagi cuma Rp500 saja. ***

Konversi Minyak Tanah Tidak Tepat Sasaran


Program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan akibat harga minyak tanah yang tinggi, sangat tidak tepat sasaran. Karena, kenyataannya banyak warga yang tidak mendapatkan gas elpiji paket konversi minyak tanah—yang mana pemakian gas elpiji bisa mencapai target hingga 40 juta paket untuk 40 juta KK untuk 2009. Di Jakarta Selatan, bahkan ada yang berpura-pura sebagai masyarakat yang layak kebagian gas elpiji. Malah, sejumlah orang pun banyak yang mendapatkan gas elpiji bisa mencapai lebih dari satu tabung.

Ada sejumlah orang yang menggunakan kesempatan untuk mendapatkan hingga beberapa tabung untuk dijual kembali. Sehingga, jatah orang tadi bisa ditukarkan uang yang ditampung oleh sekelompok orang yang berduit. Mereka berusaha mengimingi hingga harganya Rp150 ribu.

Iming-iming itu wajar dilakukan oleh anggota masyarakat yang mendapat jatah program konversi itu. Karena, untuk menutupi kebutuhan memasak mereka bahkan rela dirinya kembali lagi ke minyak tanah untuk bahan bakar. Atau, mereka yang menggunakan kayu bakar pun rela sesak nafas lagi di dapurnya.**

Pengungkapan Dana Kementerian dan Misi Tersembunyi


Terbongkarnya sejumlah kasus yang melibatkan anggota DPR merupakan shock terapy bagi para wakil rakyat yang “doyang uang” ketimbang kerja konkrit sebagai wakil rakyat. Kenyataan yang menggelikan lagi ketika kasus yang sempat dilontarkan Deputi Bank Indonesia dan melibatkan salah seorang anggota DPR, sehingga ia pun di keluarkan oleh partai akibat dari perbuatannya itu.

Ketika kasus itu juga mencuat dan sempat ramai sekian lama beritanya di media massa—terbuktilah Aulia Pohan yang juga besannya Presiden SBY salah satu aktor yang bermain “suap”. Adalagi sekarang mengenai Menteri Agama yang membuka bahwa pihak Depag pernah memberikan “sejumlah” uang kepada dua anggota DPR. Terbukti, dua orang wakil rakyat tersebut dalam salah satu media cetak disebutkan jika dianggap salah maka akan dikembalikan. Bahkan, hal itu merupakan dana bukan sembarang dikeluarkan.

Tapi, kenapa hal ini baru dibongkar? Penulis merasakan hal ini ada misi tersembunyi, terlebih ketika seorang menteri yang menyuatkan hal ini. Apalagi kini para menteri juga akhir-akhir ini dengan “tenang” menggunakan dana negara atau departemen untuk beriklan atas suksesnya program yang sudah dijalankan selama empat tahun terakhir. Serasa, semua sudah sangat susah untuk dibedakan antara pengungkapan kebenaran dan misi “kampanye”.**

Penegakkan Hukum Internal Perlu


Kasus bangunan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) tidak hanya marak di Jakarta. Bangunan mewah pun tak lepas dari yang tidak mempunyai IMB. Ini merupakan permainan dari oknum Pengawasan dan Penataan Bangunan (P2B). Permainan izin pun tak lepas dari tindakan oknum P2B tersebut.

Ambil saja kasus di Jakarta Selatan yang melingkupi perumahan mewah Pondok Indah. Sementara, Widiyo S, Kasudin P2B Jakarta Selatan menyebutkan sekityar 173 bangunan akan dibongkar karena tanpa IMB. Selain itu, pernyataan Ny Ratu, Kasie P2B Kecamatan Jagakarsa menyebutkan tidak ada cincai-cincai dengan pemilik bangunan yang bermasalah itu.

Tindakan tegas itu harus terus ditegakkan oleh Ny Ratu, Kasie P2B Kecamatan Jagakarsa, agar bangunan-bangunan mempunyai izin. Tapi ada satu hal yang menurut penulis juga harus ditegakkan oleh Ny Ratu sebelum bertindak tegas keluar, yakni Ny Ratu harus bisa bertindak tegas terhadap oknum P2B di Jagakarsa untuk membenahi moral, ya moral oknum di Kecamatan Jagakarsa. Apalagi, saat ini oknum yang bersangkutan (yang dimaksud penulis) tengah dipanggil oleh Pemda untuk membenahi sejumlah kasus dan harus ia pertanggung jawabkan.

Selain keluar, yang di dalam pun penegakkan hukum harus dilakukan. Terima kasih atas perhatian Kasie P2B Ny Ratu.

Wakil Rakyat yang Merakyat


Ada-ada saja. Anggota wakil rakyat membuat agenda yang sangat tidak ada bobotnya. Pernyataan aneh ini terlontar ketika membaca pada media massa yang up-to date. Bahwa, wakil rakyat akan membuat satu agenda untuk mengumumkan wakil rakyat yang sering bolos rapat. Bahkan, hal yang mengada-ada sebagai alasan—pun terlontar dari sejumlah anggota yang mempunyai motif politis—sebagai lawan politiknya yang semestinya “dijatuhkan” dengan cara politis juga. Ini alasan yang benar bagi mereka yang mengajukan agenda ini.

Jeneralis pun dilakukan dalam poin untuk beralasan. Salah satunya karena waktunya sudah mendekati Pemilu 2009. Kalau ada dari partai politik yang mengutarakan hal itu, sudah jelas nampak sebagai “alat” menjatuhkan lawan politiknya.

Pengamat pun mungkin juga sudah sangat mem-blok pada kekuasaan. Gap ini ada ketika hal ini diutarakan tapi tanggapan aneh dilontarkan pula oleh pengamat. Mereka (pengamat) sok mengerti tentang apa kerja revolusioner parpol untuk lebih dekat dengan konstituen. Hal mengada-ada pun dijadikan bahan untuk dirilis media massa, agar image negatif untuk sejumlah anggota DPR “kalah” telak. Mengapa hal ini menjadi suatu yang dibesar-besarkan?

Contoh, Taufik Kiemas tengah “dekat” dengan konstituennya. Hal yang seperti ini malah yang harus dilakukan oleh wakil rakyat lainnya, yakni dekat, lalu menampung apa saja keinginan rakyat. Salah satu keinginan rakyat misalnya agar harga sembako bisa terjangkau—pun ini sedang diusahakan oleh Megawati Soekarnoputri dalam kampanyenya, jika nanti ia terpilih sebagai presiden.

Kerja revolusioner seperti Megawati atau Taufik Kiemas ini yang sudah tidak dipunyai oleh wakil rakyat sekarang. Mereka hanya “merampas” suara rakyat agar bisa menjabat sebagai wakil rakyat atau eksekutif. “Kecerdasan” wakil rakyat tidak pernah selesai dalam mereformasi diri. Hal ini jelas sebagai serangan politis dari lawan politik, semisal lawan politik PDI-Perjuangan. Inilah yang dikatakan sebagai wakil rakyat yang merakyat.

Dari kejelian seperti ini semestinya menjadi bahan pertimbangan para parpol yang sudah sah “menjual” suara rakyat yang ada di legislatif maupun eksekutif. Harapan penulis hal ini jangan dijadikan suatu agenda “buang waktu” yang mengesampingkan keinginan rakyat.**

Seharusnya Media Online Bisa Jadi Referensi Lembaga Survei


Survei pembaca, sebaiknya juga dilihat dari berbagai media. Sampai saat ini, secara umum media massa di Ibukota ada media cetak, media elektronik (televisi, radio, dsb), serta media online. Namun, seiring waktu kemajuan teknologi dan perkembangan untuk media yang dijadikan referensi bagi lembaga survei, menggunakan data dari media online tidak begitu jadi referensi.

Mengapa, lembaga survei tidak bisa mengembangkan datanya dari media online—yang notabene-nya bisa sama-sama media informasi. Keterangan ini merupakan hasil gambaran ketika berbincang-bincang dengan kawan yang kebetulan ia bekerja pada sebuah lembaga survei. Jikapun ada frekuensinya sangat kecil.

Perkembangan teknologi seiring perkembangan jaman seharusnya (terutama di Indonesia) sudah sangat erat ketika lembaga survei menggunakan data dari media online. Beberapa media online yang biasa kita gunakan untuk referensi informasi pun sudah ada sejumlah situs yang terpercaya dan akurat serta up-to date. Namun, bisa dikatakan lembaga survei di Indonesia masih konservatif.**

Golput ≠ Swing Voter ≠ Kemajuan Demokrasi

Akhir-akhir ini di media massa, baik cetak, eletronik atau online—sedang ramainya membicarakan golongan putih. Kebutuhan dalam sebuah negara demokrasi adalah memilih dan tidak memilih.

Sebagai bangsa yang sedang menjajaki keutuhan tanda kutip sebuah demokrasi yang benar—mata internasional selalu terjuju terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Karenanya, perkembangan demokrasi etisbnya harus sejalan dengan para intelektual yang jago tanda kutip dalam urusan demokrasi ini. Kenyataan yang terjadi, memang benar sedah seperti kalimat sebelumnya. Namun, lebih ekstrim lagi si aktor intelektual ini memang mempunyai gaung yang amat besar pagi heterogen suku dan agama di Indonesia.

Heterogen ini secara otomatis, memberikan semangat masyarakat untuk belajar. Pelajaran yang amat langka dalam sejarah republik ini setelah revolusi kemerdekaan yang dipimpin sejumlah tokoh termasuk di antaranya Ir Soekarno, Pemilu 2009 ini memang teramat unik. Dengan bangga, banyaknya partai dinilai sebagai sebagai luapan hati nurani masyarakat, padahal hanya segelintir orang saja. Hal ini pasti memusingkan kita bagaimana hal ini bisa terjadi. Ketika partai berjumlah tiga pada era Soeharto saja menghasilkan pemimpin yang otoriter, apalagi saat ini?

Makanya, dari keblunderan politik ini akhirnya tidak segan-segan salah satu tokoh yang sangat mencuat ini menawarkan golput. Tetap saja hal itu jika dipandang sebagai seruan yang tidak benar. Masyarakat, saat ini sudah dipaksa—dijejali dengan banyak partai “sok idealis”. Masyarakat saat ini “tidak miskin” pelajaran. Yang terpenting bagi masyarakat ketika hari ini dan hari selanjutnya bisa makan.

Adat dan adab masyarakat Indonesia sudah sangat kental dengan sesuatu yang berhubungan dengan “perut”. Lebih dari sekedar perut, masyarakat juga ingin meningkatkan gizi—lebi dari itu untuk generasi selanjutnya. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan turunnya harga BBM—yang diputuskan SBY belum lama ini. SBY bukanlah tipe pemimpin yang bisa dibanggakan saat ini, karena keputusannya itu selalu ia domplengi untuk “kerakusan” kekuasaan. Yang dibutuhkan masyarakat harga sembako bisa terjangkau—agar bisa makan, itu saja.

Retorika yang digembar-gemborkan untuk golput hanya penyesatan masyarakat yang sudah “putus asa” akan kemajuan demokrasi di tanah air. Padahal, tidak seperti itu. Masyarakat harus dibangkitkan agar harga sembako terjangkau.

Sudah saatnya masyarakat harus bisa lebih mandiri, ketimbang harus mengikuti seruan untuk golput. Sementara, swing voter bisa diarahkan untuk kemajuan kesejahteraan dan kemakmuran—tidak hanya menelan seruan kosong yang bernama golput. Keyakinan ini mesti terus disemangati agar kemajuan demokrasi kita lebih dari sebelumnya, maksimalnya kebutuhan sembako untuk masyarakat sudah terpenuhi.**

Bukan “Politik Dendam” atau “Dendam Politik”


Pertemuan yang dilakukan Megawati Soekarnoputri dan suami tercinta yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan, Taufik Kiemas pada Rabu, 10 Desember 2008 kemarin, dengan Surya Paloh bukanlah suatu yang begitu saja terjadi. Pertemuan itu dilaksanakan karena: pertama, kedua-duanya adalah tokoh.

Surya Paloh adalah tokoh dari Partai Golkar dan orang yang sangat memegang peranan penting di Partai Golkar. Selain itu ia (Surya Paloh) juga merupakan tokoh pers nasional yang luar biasa—sekaligus pemilik media massa elektronik yang tengah digarapnya. Megawati Soekarnoputri merupakan tokoh andalan PDI Perjuangan, Megawati yang mantan presiden itu juga dielu-elukan dalam dunia partai politik yang akan bertarung di Pemilu 2009 nanti.

Pertemuan yang bukan suatu kebetulan itu, jika memang kita lihat dari sudut pandang politis adalah proses pendekatan untuk membangun koalisi partai besar untuk sama-sama mengangkat “sekarung masalah” yang tidak terselesaikan pada pemerintahan SBY-Kalla—apalagi banyak kekecewaan masyarakat ketika membicarakan pejabat tertinggi negara ini tentang ekonomi.

Beberapa survei juga sudah membuktikan, termasuk di antaranya Litbang di media cetak Ibukota—menyebutkan ketika melihat nama ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono masih berada di peringkat atas. Tapi, jika bicara kinerja pemerintahan pada ekonomi, SBY-Kalla “tidak normal” karena masih berada di bawah totok “nol” ketimbang pertama waktu menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 lalu. Hal ini terbukti jelas ketika harga sembako belum juga turun, BBM diturunkan ketika masanya menghadapi Pemilu 2009. Hal sebaliknya juga SBY-Kalla tunjukkan pada iklan kampanye tentang keberhasilan program yang dijalankan pemerintah. Ironi sekali, bukan?

Tapi, Megawati Soekarnoputri sebagai seorang ibu yang memikirkan “keluarga besarnya” (baca: seluruh rakyat Indonesia) tengah mengampanye sembako yang mungkin tidak tahu kapannya pada pemerintahan SBY-Kalla ini akan semakin mencekik. Seorang ibu, awalnya tidak mau mengultuskan, karena jika psikologinya seperti itu maka akan menjadi orang yang arogan. Makanya hal itu tidak Megawati lakukan.

Bahkan, ia dengan legowo tanpa ada dendam sama sekali pada Partai Golkar yang dulu bisa dibilang saling membenci karena sejarah politik—bersilaturahmi dengan Surya Paloh, Ketua Dewan Penasihat DPP Partai Golkar. Jikapun, ini adalah proses “silaturahmi politik” yang terpenting lagi, ini bukan “politik dendam”.

Proses politik membangun koalisi permanen yang pernah didengungkan Taufik Kiemas, insya Allah akan berhasil karena tidak ada dendam politik. Demi membangun kesejahteraan rakyat yang lebih baik, koalisi dengan Partai Golkar membaca dari media cetak merupakan usaha Taufik Kiemas yang sangat ingin membangun kesejahteraan yang lebih baik, ketimbang SBY-Kalla yang hanya janji-janji saja.

Meskipun, Muhammad Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum DPP Parti Golkar—tidak menutup kemungkinan antara PDI Perjuangan dan Partai Golkar bisa bersama-sama membangun kesejahateraan. “Why not?”

Hal ini juga mendapat sambutan baik Megawati Soekarnoputri, tokoh PDI (nama PDI Perjuangan sebelum berganti nama) yang pernah didzalimi pada 27 Juli 1996. Megawati menunjukkan itikad baik “silaturahmi politik” dengan Partai Golkar, bukan “dendam politik”. ***

Misi Kepemimpinan Berikutnya


Sebenarnya sudah jelas sedang terjadi. Tidak semua hal yang meningkat itu akan sebagai kebanggan. Buktinya, tingkat kemiskinan dan kelaparan di Indonesia semakin meningkat. Terlebih sekarang bangsa yang judul dulunya adalah bangsa yang makmur, bahkan “sayu bisa jadi tanaman” itu tidak bisa lagi dijadikan jargon kita dalam menghadapi situasi global.

Pada beberapa minggu terakhir di bulan Desember 2008, Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis menyebutkan survei terhadap ketokohan SBY-Kalla menurun disebabkan buruknya kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Karena pemerintahan SBY-Kalla tidak membawa perubahan yang lebih baik terhadap kesejahteraan dengan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia. Kenyataan lain dari lembaga survei itu keberhasilan pemerintah akan menurunnya tingkat korupsi yang pernah dirilis oleh lembaga transparansi internasional hanya sebagai retorika keberhasilan pemerintah dalam menegakkan hukum penindakan koruptor.

Selain itu, LSI (Lingkar Survei Indonesia) pun pernah menyebutkan pada awal sebelum Puskaptis merilisnya—sebanyak 80 persen rakyat menilai pemerintah (SBY-Kalla) gagal mengendalikan harga sembako yang makin tak terjangkau rakyat. Rakyat semakin lapar dan tidak memenuhi kebutuhan makannya.

Situasi yang makin sulit juga akan kita lalui ketika kita akan bertemu “mimpi buruk” akan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada awal tahun 2009. sejumlah kalangan ekonomi dan politik menyebutan bahwa sudah jelas ini sebagai “kekalahan” dari janji semu pemerintahan SBY-Kalla. Lebih jelasnya, beberapa lembaga survei sudah mempublikasikan data akurat mengenai terjadinya kenaikan jumlah pengangguran terbuka dan kemiskinan hingga 30 persen.

Ironinya, iklan di media massa maupun di papan billboard di pinggir-pinggir jalan malah tidak mendidik—dengan menyebutkan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan yang awalnya sudah dibumbui janji-janji pada saat kampanye Pilpres 2004. Inilah yang mestinya kita sebagai unsur dari republik ini, sebagai rakyat harus jeli memilih siapa yang akan kita jadikan pemimpin yang layak membangun ekonomi kerakyatan ke depan.

Awal 2009 merupakan tempaan hebat untuk bangsa ini, pengalaman sudah mengajarkan kita harus memilih siapa. Minimal dan maksimalnya, kebutuhan sembako rakyat kembali terpenuhi. Agar, generasi penerus nanti memiliki kecerdasan yang lebih baik daripada sekarang. Kebutuhan gizi anak-anak sebagai generasi penerus itu harus jadi prioritas kita. Semoga hal ini (memikirkan “makan” seluruh rakyat Indonesia) menjadi dasar penetapan segala kebijakan pemimpin kita di periode berikutnya—membangun ekonomi kerakyatanlah jawabannya.***

Menguji Ucapan dan “Tebar Pesona” Kepala Negara


Perkataan seorang pemimpin negara teruji kebenarannya, pertama antara bicara sesuai dengan posisinya sebagai kepala negara yang mana hal itu keluar dari hati nurani sebagai pemimpin yang sangat bisa diteladani dengan yang kedua, antara “tebar pesona”. Jika kepala negara yang memosisikan sebagai teladan atau panutan bagi rakyatnya bicaranya tidak sembarangan kata-kata keluar dari mulut saja. Tapi, juga sangat memahami kondisi bangsa yang sedang giat membangun demokrasi dari rakyat dibawahnya.

Tapi, ucapan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, sangat tidak teruji kebenarannya ketika beliau sempat menyebutkan bahwa demonstrasi itu tidak dilarang dan sangat diperbolehkan. Bahkan, ketika demonstrasi yang dilakukan beberapa bulan lalu masih tahun 2008 ini—dengan mengundang Rieke Diah Pitaloka—hingga akhirnya Oneng (sebutan familiar sinetron dulu Rieke Diah Pitaloka di salah satu televisi swasta Ibukota) dipanggil Kepolisian Republik Indonesia, waktu itu Polri masih dikepalai oleh Jend. Sutanto. Sampai-sampai fungsionaris PDI-Perjuangan ini paranoid tidak berani keluar rumah. Bahkan, ketika ingin syuting pekerjaannya ia (Rieke Dyah Pitaloka) harus dijemput atau dikawal oleh orang yang ia percaya.

Lagi-lagi, ketika demonstrasi yang intinya menyuarakan aspirasi dan hati nurani rakyat kini malah dijegal tanda kutip oleh kepala negara yang notabene-nya sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai Demokrat, parpol pemenang Pemilu 2004. Bagaimana tidak? Ketika pengeras suara demonstrasi (Jum’at, 12 Desember 2008) yang dilakukan elemen mahasiswa di depan Istana Negara sangat keras suaranya. Mungkin, kelantangan suara orator dalam menyemangati massanya dengan pengeras suara yang besar. Sementara, di dalam Istana Negara Presiden SBY sedang berkonsentrasi memimpin meeting bersama sejumlah menteri mengenai antisipasi dan timbulnya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada pukul 10.30 WIB—merasa terganggu dengan sound sistem pendemo.

Mengutip dari media berita online di Jakarta, Presiden SBY sembari memerintahkan Kapolri Bambang Hendarso mengatakan, “Kita ini mau mulai rapat, ada unjuk rasa. Kita jadi tidak bisa bekerja. Bahkan unjuk rasa menggunakan loudspeaker sebesar itu. Ini siapa yang harus menangani? Saya rasa kita ini satu-satunya negara di dunia, yang seperti ini.” Sebagai anak buah yang harus patuh kepada pimpinannya, Kepala Kepolisian RI itu pun sigap dan spontan mengatakan “Siap!” Lalu, entah apa yang dilakukan Panglima TNI Djoko Santoso, Menko Polhukam Juwono Sudarsono, dan Syamsir Siregar, Kepala BIN, serta menteri-menteri lain ketika mendengar “sentakan” suara dari Presiden SBY yang merasa rapat koodinasi itu terganggu.

Beberapa bulan lalu, Presiden SBY pernah membuat pernyataan di depan para wartawan intinya mengenai aksi massa tidak termasuk tindakan pidana. Dalam pemahaman yang sempat dilontarkan Presiden SBY, aksi massa yang bukan anarkhis dan menimbukan chaos, benar. Tapi, hal itu bukan serta merta menjadi alasan ketika para pendemo juga tidak lagi menggunakan perangkat sound sistem. Penggunaan perangkat itu agar massa yang di belakangnya itu mendengarkan aba-aba dari koordinator lapangan (korlap)—agar aksi tersebut tidak menimbulkan “kerusakan”.

Menimbang perintah Presiden SBY kepada Kapolri Bambang Hendarso hari ini (Jum’at, 12 Desember 2008) yang sempat ditulis oleh wartawan di depan para menteri-menterinya itu sangat tidak relevan dengan ucapan sebelumnya (memahami ucapan Presiden SBY mengenai aksi massa bukan tindakan pidana). Kemarahan presiden sempat terekam juru kamera media elektronik yang berada di dalam ruang rapat. Usai menegur Kapolri, Presiden SBY lantas meminta kepada para wartawan untuk meninggalkan ruang rapat.

Terlebih, ketika dipahami oleh Kapolri akan menjadi soal. Bisa saja, ketika perintah itu langsung ditujukan kepada Kapolri, Bambang Hendarso langsung memerintahkan anak buahnya (polisi) untuk segera membubarkan aksi massa tersebut. Atau, mungkin keinginan Presiden SBY agar aksi massa itu tidak menggunakan suara yang sangat keras itu tidak direpresi (tekan, atau dibubarkan secara paksa) oleh aparat keamanan. Nah, dua hal ini sangat bertolak belakang jika nantinya terjadi kesalahpahaman.

Meski, media berita online tidak memberitakan bagaimana kelanjutan aksi massa tersebut dan solusinya setelah Presiden SBY merasa terganggu oleh suara aksi tersbeut. Tapi, berita itu awalnya sudah terlanjur diketauhi masyarakat umum.

Memang, sidang yang dipimpin Presiden SBY di Istana Negara itu bukan suatu hal yang mudah ketika tengah menghadapi rencana besar-besaran PHK oleh sejumlah perusahaan di dalam negeri akibat krisis global ini. Sementara, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menginginkan adanya PHK, apalagi secara sepihak. Kebutuhan hidup saat ini sudah sangat “membengkak”. Atas dasar kenyataan ini yang mungkin Presiden SBY harus lebih berkonsentrasi untuk mencari jawabannya.

Setidaknya, “sekali menggayung dua-tiga pulau terlampaui”—kata pepatah dulu. Itulah, mungkin yang bisa kita ingatkan kepada Presiden SBY. Terserah bisa atau tidak, hal ini adalah konsekwensi kepala negara ketika menghadapi peliknya permasalah negara yang sedang akan membangun kembali dari keterpurukan selama 10 tahun lebih sejak krisis moneter 1998.

Terlebih, menghadapi Pemilu 2009, tapi ada banyak tugas kepala negara yang belum selesai dikerjakan. Berkenaan dengan aksi massa juga menuntut kebijakan Presiden SBY yang dinilai sudah tidak lagi memenuhi janji-janji sejak diangkat sebagai presiden pada tahun 2004 lalu. Janji-janjinya kini bisa dinilai oleh seluruh rakyat Indonesia, tatkala kampanyenya untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik, kini sudah dirasakan oleh kita semua hanya sebagai janji-janji belaka.

Aksi massa yang sekiranya merupakan meluapkan asiprasi rakyat yang tengah “kecewa” akan pemerintahan SBY-JK dan mengikuti segala peraturannya untuk melakukan demonstrasi, pada akhirnya ketika sakit kepala kepala negara memberat malah akan lebih otoriter jika terpilih kembali. Toh, ketika Bambang Hendarso mengungkapkan kepada wartawan menanggapi kebisingan Presiden SBY itu, ia (Bambang Hendarso) akan menindak aksi massa itu jika berisik.

Kita tidak tahu, apa yang diartikan dengan berisik itu? Apakah demonstrasi harus tutup mulut? Atau dilarang bersuara ketika turun ke lapangan? Bagaimana dengan ucapan Presiden SBY yang mengutarakan "Aksi demo bukan tindak pidana"?**

Kejagung Kendaraan Parpol Tertentu

Kejaksaan Agung harusnya bisa mengakomodir kemauan dari para korban yang selamat maupun keluarga korban yang hingga saat ini masih menyari anggota keluarganya yang belum pulang akibat “permainan” politik pada kasus penculikan aktivis 1997-1998. Sebagai departemen yang diamantkan untuk menegakkan hukum oleh negara tidak dapat berbuat lebih, tapi malah menjadi “antek” dari pelaku yang hingga kini masih berada di belakang layar.

Niat baik sebaiknya sejalan dengan teknis peradilannya. Namun, peradilan HAM (hak azasi manusia) yang dilakukan pada tahun 1999 atas 11 orang aktivis yang hilang, seyogyanya berbeda ketika menyikapi ke-13 orang aktivis yang hingga kini masih belum diketahui di mana keberadaannya.

Tindakan lain yang tidak menunjukkan niat baik Kejagung juga dikatakan Marwan Effendi, Jampidsus, yang menyebutkan bahwa berkas yang dibawa Komnas HAM belum memenuhi syarat hukum. Ini sudah sangat tidak bisa ditolelir. Karena, sudah terbukti adanya orang yang hilang dan beberapa berkas sudah dilampirkan tapi tidak ada tindakan untuk mengakomodir keinginan Komnas HAM, tapi malah beralasan lain.

Ini jelas aneh! Seharusnya Kejagung bisa berdampingan dengan Komnas HAM serta menyelesaikan hal ini, ya mungkin dengan membentuk pengadilan HAM Ad-hoc—seperti keinginan bersama antara DPR-RI dan Komnas HAM.

Hal yang menggelikan lagi, Hendarman Supandji, Jaksa Agung, kini sedang menemani Presiden SBY ke Bali. Apa memang ada keberanian Jaksa Agung untuk segera menyelesaikan persoalan ini?

Anti Korupsi Hanya Selogan


Tindakan korupsi setidak-tidaknya “mesin pembunuh” generasi, baik dari generasi yang tengah dikorup, sampai generasi penerus. Sebagai tindakan “asusila” korupsi memang semestinya dihentikan dengan cara yang lebih tegas. Namun, tindakan tegas pun tidak serta merta menjadi “obat mujarab” bagi bersihnya pelaku korupsi di berbagai sendi kehidupan.

Sebagai contoh, perbuatan bagi sebagian orang yang ditugaskan negara untuk mendata ulang masyarakat—di sebagian kantor pelayan uimum di kecamatan dan kelurahan masih sering “sarang” tindakan korupsi tersebut. “Kutipan” selalu menjadi alat bagi petugas di kantor pelayanan pembuatan atau memperpanjang Kartu Tanda Penduduk agar cepat diselesaikan. Memang, tarifnya tidak ditentukan tapi meski demikian masyarakat tetap saja “mengiyakan” agar urusannya cepat kelar.

Pendidikan dan pembelajaran korupsi menjadi benih bagi kelanjutan tindakan korupsi selalu dilakukan. Kenyataan ini tidak ada seorang pun dalam menyelesaikan urusannya untuk menolaknya, atau bahkan mengatakan “Tidak”, atau “Tidak mau!!”, atau “Tidak akan!!”, atau bahkan “Akan saya laporkan Anda nanti kepada atasan Anda atau petugas kepolisian!”.

Ketidak-beranian ini sudah menjadi watak bagi sebagian besar masyarakat kita menyikapi tindakan korupsi. Sejujurnya, tidak hanya di kantor Kecamatan atau Kelurahan, bahkan ketika melapor kepada pihak berwajib—katakanlah yang dimaksud di sini kepolisian, baik Polsek maupun Polres—hal itu sudah dianggap biasa sebelum melakukan tindakan.

Meski pemerintah kini tengah menggiatkan atau mengampanyekan “Anti Korupsi”, hal ini tidak gaung. Hanya sekedar lips service yang selalu mewarnai di media-media kita saja. Gaungnya Anti Korupsi ini bagi sebagian kalangan merupakan progress-nya program pemerintahan dalam melakukan penindakan kepada siapapun yang melakukan korupsi. Tapi, tidak bagi sebagian besar masyarakat yang merasakan langsung ulah ini.

Sebagai seorang pejabat negara yang sangat diagungkan oleh pejabat di bawah lainnya, tindakan tidak melakukan korupsi jelas harus dinilai sebagai tindakan “penjilatan”, ketimbang menyuskseskan program pemerintah Anti Korupsi. Ada indikasi ingin diakui dan dilihat sebagai petugas yang sangat menolak korupsi, padahal tidak bukan dan tidak lain sebagai perbuatan ingin pejabat yang sedang mengurus surat identitas, misalnya, supaya cepat selesai dan dianggap sebagai petugas yang tanggap.

Inilah yang dikatakan bahwa program pemerintah tentang Anti Korupsi tidak gaung. Lalu, mau menolak kenyataan ini bagaimana? Toh, memang ini kenyataannya. Silahkan saja tanya untuk survei, apakah benar atau tidak. Untuk catatan saja, ketidak-dilanjutkannya “ulah” itu, karena mereka sudah mendapat “calling” dari pihak tertentu bahwa ingin disidak dan/ lainnya. Boleh, bapak-bapak di pemerintahan menyobanya.**

Hikmah Hari Qurban


Alhamdulillah. Dengan adanya hari raya qurban atau biasa yang dikenal dengan Idul Adha membentuk diri kita sebagai ummat manusia (muslim khususnya) semakin lebih mempererat tali persaudaraan. Terjalinnya silaturahmi ini dengan mempersembahkan yang terbaik buat saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air untuk ikut merasakan nikmatnya daging kurban tanpa harus membeli, apalagi harga daging kini masih berada jauh di atas harga yang terjangkau oleh masyarakat.

Dari berbagai analisa untuk memastikan bahwa hewan qurban itu bisa dikonsumsi—sudah sepantasnya untuk dibagi-bagikan untuk saudara-saudara kita yang lebih membutuhkan. Untuk memperbaiki gizi dan mengutip bahasa saudara-saudara kita umumnya, “Setahun sekali boleh saja merasakan makan daging dalam jumlah yang lebih dari cukup. Supaya kita ikut merasakan rejeki saudara kita yang punya kelebihan harta.”

Semestinya, perkataan itu tidak harus disebutkan oleh saudara-saudara kita yang kondisinya memang amat membutuhkan bantuan. Namun, kondisi yang mendesak untuk mengekspose “kondisi” mereka agar masyarakat yang dikatakan mempunyai kelebihan harta itu tergerak hatinya.

Kegembiraan bersama ini pun tidak serta-merta menjadi kegembiraan saudara-saudara kita tersebut. Kenyataan yang menerpa saudara-saudara kita itu sekali lagi ditambah lagi dengan “kurang bersahabatnya” harga minyak tanah untuk memasak daging qurban.

Apa dengan kondisi seperti ini daging itu hanya dilihat lalu matang dan “sim salabim” berubah menjadi daging lezat siap santap? Faktor lain ikut mengiringi. Harga beberapa bahan untuk menjadikan daging itu bisa disantap pun masih “mencekik”. Bahan lainnya agar daging itu berubah menjadi lezat seperti bawang merah, cabe merah, minyak goreng, dan lain sebagainya masih ada jauh di atas harga yang bisa dijangkau oleh saudara-saudara kita.

Memasak pun baik dengan menggunakan minyak tanah atau gas masih menjadi kendala agar daging itu bisa dimakan bersama-sama anggota keluarga lainnya.

Semestinya, fenomena seperti ini apalagi di hari baik ini selain para pejabat yang mempunyai kelebihan harta lalu disumbangkan melalui hewan qurban, tapi juga pemerintah sebagai salah seorang yang tergolong orang yang mempunyai kelebihan harta juga tergerak hatinya. Agar saudara-saudara kita bisa menyajikan daging qurban yang lezat, sekali lagi. Artinya, dengan adanya Idul Adha ini selain memberikan “sejumput” daging qurban, tapi pemerintah bisa berperan untuk menurunkan harga minyak tanah dan bahan baku makanan lainnya. Semoga.**

Pak, berani atau tidak?


Sebagai orang awam, saya hanya mengingatkan Presiden SBY agar segera menuntas tuntutan para keluarga koban hilang yang hingga kini tidak menemukan si buah hati atau orang yang sangat disayangi di keluarga. Dengan membaca di media cetak nasional Rabu, 3 Desember 2008 semesti Pak SBY merespon positif atas permintaan tersebut.

Pastinya setiap keluarga merindukan anggota keluarga yang hingga kini tidak ketahuan di mana rimbanya. Terlebih, sebagai orang nomor satu di negeri ini semestinya tidak berfikir politis mengenai hak asasi manusia. Tapi, karena Pak SBY mungkin tengah sibuk untuk kampanye pemilihan presiden 2009 mendatang, suatu hal wajar bila beliau berfikir hal ini adalah politiknya lawan politik.

Presiden semestinya bisa bertindak sebagai imam yang pantas diteladani. Namun, kesibukannya (Pak SBY) akhirnya beliau bahkan tidak mengindahkan seruan atau permintaan Ikatan Orang Hilang Indonesia yang dimotori Mugiyanto yang mana ia sendiri mantan aktivis yang selamat. Seruan itu untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc—ini harus disegerakan menurut saya. Karena bagaimana nantinya jika dunia internasional melihat ini bahwa Negara Indonesia adalah negara yang rentan akan pelanggaran HAM. Ingat Pak, kredibilitas negara ini ada di tangan presiden untuk menuntaskan masalah ini.

Membaca keinginan dari IKOHI agar pelaku balik layar segera diadili. Sebagai presiden hal ini apa susahnya? Karena sempat menyebut nama Anda ketika Pansus Orang Hilang Secara Sengaja mendesak pemerintah segera menuntaskan (membentuk pengadilan HAM Ad Hoc)? Itu tinggal kemauan presiden untuk mewujudkan—berani atau tidak?**

Saya Tidak Akan Golput!


Seruan untuk tidak memilih alias golongan putih, seperti yang dilakukan Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur sangat tidak mendidik. Dalam berbagai surat kabar nasional, seruan Gus Dur tersebut tersirat bahwa golput pun sebagai penghargaan terhadap hak azasi manusia (HAM) untuk tidak memilih. Dalam pandangan masyarakat awam, seruan tersebut sangatlah mengerdilkan pikiran masyarakat Indonesia yang sedang menjadikan dirinya sebagai manusia yang cerdas dalam berdemokrasi.

Pandangan masyarakat awam hanyalah pada saat mendatang, masyarakat tidaklah menjadi alat untuk meraih kekuasaan semata dari segelintir orang atau golongan. Kecerdasan pola pikir untuk menentukan pilihan dalam politik merupakan salah satu poin yang akan didapat ketika rakyat merasa sudah sedikitnya mengenyam pendidikan politik ke arah yang lebih maju lagi. Poin positif lainnya, ketika masyarakat semakin cerdas ketidakterkungkungan pola pikir akan memberikan kekayaan dalam demokrasi dan menambah maju kehidupan berbangsa. Ini adalah kemajuan demokrasi di mata dunia.

Apalagi, dunia internasional sudah menganggap demokrasi Indonesia sudah mengalami kemajuan. Kalau kita flashback beberapa waktu ke belakang, bahkan ada presiden dari negara adidaya menyebut bahwa Indonesia mengalami kemajuan dalam demokrasi. Ini merupakan amat membanggakan, karena akan sangat berefek sekali penilaian negara lain terhadap Indonesia.

Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), perkembangan selanjutnya yang akan dihadapi pada Pemilu 2009 adalah swing voter (pemilih non-partisan) yang harus diantisipasi. Seperti data yang dipublikasi LSI, Saiful Mudjani menyebutkan jumlah swing voter pada Pemilu 2009 sekitar 33%, 22% swing voter negatif dan 11% yang positif. Sementara, dari masing-masing partai yang diuji dalam sampel LSI, Golkar, (rata-rata -5%), PKB (-5%), PPP (-4%), PAN (-3%), PDIP (-3%), dan PKS (-2%). Kecenderungan swing voter positif hanya terjadi pada Partai Demokrat (7%) dan membuka peluang Partai Gerinda menjadi 4%.

Karena kondisi yang diperkirakan akan seperti ini, mengapa seorang mantan presiden RI harus memperkeruh keadaan? Mengapa tidak mengarahkan agar masyarakat lebih independen dalam memilih sesuai yang diinginkan? Mengapa tidak mengarahkan kecerdasan politik masyarakat untuk memperjuangkan-minimal harga sembilan bahan pokok (sembako) bisa terjangkau? Terlebih, nanti ketika pendidikan politik masyarakat makin meningkat dan masyarakat akan semakin meningkatkan taraf hidup sehingga akan mengurangi pengangguran terbuka maupun terselubung.

Seruan Gus Dur merupakan seruan yang sangat tidak baik, sementara Gus Dur yang notabenenya seorang sangat dihormati dapat mengarahkan massanya untuk menentukan pilihannya untuk memperjuangkan sembako murah.**

Selamat Berjuang, Bu...

Kembali dipertentangkan suara dalam pemilihan gubernur di Jawa Timur akan menjadi sejarah pertama kali dalam proses demokrasi di Indonesia untuk mengetahui kebenaran perhitungan suara riil. Kenyataan yang sangat mengejutkan ketika Kaji (Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono) pada sore hari perhitungan suara setelah proses pilgub selesai menang, tapi pada keesokan harinya ternyata Karsa (Soekarwo-Saifullah Yusuf) malah unggul atas Kaji. Ternyata setelah dikaji di Mahkamah Konstitusi memang terdapat kecurangan di beberapa daerah pemilihan di Jatim.

Seperti dikutip dari media cetak, elektronik dan online, serta sudah dipublikasikan oleh KPUD Jatim bahwa pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) atas pasangan Khofifah Indarparawansa-Mudjiono (Kaji). Karsa meraih 7.729.944 suara (50,20 persen), sedangkan Kaji 7.669.721 suara (49,80 persen). Selisih suara keduanya hanya 60.223. Perkembangan angka suara hasil akhir ini bumerang bagi Karsa untuk memenangkan pilgub Jatim. Memang benar, kebenaran itu harus diungkap sehingga tidak menjadi problematik di suatu saat nanti. Namun, angka suara hasil KPUD itu malah jadi masalah yang beberapa waktu sebelumnya diungkapkan oleh orang yang dijadikan bumper oleh oknum yang tidak bertanggung jawab itu.

Bangkalan dan Sampang adalah daerah yang akan menjadi saksi sejarah pemilihan ulang Kaji Vs Karsa. Sementara, Pamekasan menjadi saksi sejarah penghitungan ulang suara hasil pilgub Jatim awal minggu bulan November 2008 kemarin. Hal ini adalah kedewasaan masyarakat dalam berpolitik, sehingga apapun model kecurangan yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab dapat diminimalisir.

MK membuat sebuah kesimpulan akhir bahwa telah terjadi pelanggaran yang berpengaruh pada perolehan suara di tiga kabupaten itu. Salah satu buktinya adalah kontrak Soekarwo dengan Sekjen Asosiasi Kepala Desa Jatim serta surat pernyataan 19 kepala desa memenangkan Karsa. Ini fatal akibatnya.

Selain itu, demi kedewasaan politik di Indonesia yang melihat gender dari sudut pandang umum. Artinya, apapun jenis kelaminnya bisa memimpin, baik gubernur atau bahkan presiden, dengan catatan dia mampu memimpin dan dapat membawa yang dipimpinnya itu ke arah yang lebih baik (dalam hal ini sejahtera).

Seperti dirilis oleh media cetak dan online di Jakarta baik dalam berita maupun opini atau surat pembaca, gender dalam politik sudah bukan masalah. Hal ini memang dibuktikan dalam pengaruh dunia politik tidak terlepas dari kaum hawa yang bisa memimpin. Selain itu, baik dari seorang (yang mampu menjadi) pemimpin kaum hawa pun saling menopang. Dalam hal ini Kaji Vs Karsa, Ibu Megawati (mantan Presiden RI ke-5) mendukung penuh agar kader dan simpatisan PDI-Perjuangan memilih Khofifah. Ketua Umum DPP PDI-Perjuangan itu tidak canggung-canggung naik ke podium dan meminta loyalisnya untuk memberikan suaranya kepada pasangan Kaji.

Ini merupakan bukti bahwa ketika kaum hawa berpolitik, tidak segan-segan untuk saling membantu. Program-program yang dicanangkan oleh Kaji-pun dinilai sangat pro-rakyat. Inilah yang mesti dibulatkan dukungan, sehingga suara penuh nanti dalam pemilihan ulang di dua daerah itu (Bangkalan dan Sampang) serta penghitungan suara ulang di Pamekasan lebih mendukung Kaji untuk memimpin Jatim.

Saat ini sudah tidak lagi persoalan perempuan memimpin. Biasanya, sang ibu (perempuan) itu dalam berkeluarga ia adalah sangat memperhatikan seluruh anggota perkembangan keluarganya. Hal ini pun akan diterapkan oleh Kaji dalam memimpin Jatim—bahkan Bu Mega juga tengah memperjuangkan pertanian yang merupakan sektor penopang ekonomi bangsa.

“Si Ibu” (Megawati dan Khofifah) sangat peduli dalam sektor ini, maka dalam harapan bisa membangkitkan dan menggairahkan para pertanian agar masyarakat pun tak menyesal memilih Kaji atau Bu Mega. Semoga “si Ibu” unggul dalam pemilihan nanti, amin.**

Kebijakan Menteri tak Sejalan dengan Realitas


(Tanggapan untuk Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh terhadap pernyataannya dalam konferensi pers di Bali)



Sebagai seorang menteri yang bertugas berkenaan dengan dunia informasi dan komunikasi Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh memang menjalankan fungsinya. Terlebih, dalam "masa sensitif" (menjelang Pemilu 2009) ini untuk "menetralkan" suasana, hal yang pantas atau tepat beliau (M. Nuh) mengatakan sejauh ini iklan partai politik (parpol) masih menjaga etika. Hal ini dikatakan menteri seusai membuka Asia Pasific Broadcasting Union di Nusa Dua, Bali (Senin, 24 November 2008).

Jika kita lihat baca bersama-sama hari Rabu (26 November 2008) di media cetak nasional, M. Nuh mengatakan parpol masih realistis menyampaikan pesan politiknya. Namun, jika kita lihat lebih detil lagi, bukankah yang kampanye itu adalah personalnya?

Mari kita lihat satu persatu kondisinya. Seberapa banyak frekuensi parpol berkampanye? Seberapa sering parpol berkampanye di media elektronik atau media cetak dengan menampilkan tokoh yang bersangkutan atau tokoh pemimpin partainya? Jawabnya: "Sering." (Benar).

Jika diijinkan untuk mengutip sebuah perbendaharaan bahasa nasional, etika artinya yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Subyek yang beretika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik, dan sebaliknya.

Nah, hal ini yang membingungkan masyarakat—di saat masyarakat sedang dalam "proses" mencerdaskan diri akan dunia politik belakangan ini malah dijejali sambutan pejabat yang tidak "elok" berkaitan dengan pembelajaran politik di masyarakat ini. Mengapa demikian?

Kembali pada paragraf tiga di atas, kita bertanya lagi, seberapa sering belakangan ini para menteri yang membantu pemerintahan SBY-Kalla gencar di media elektronik—terlebih akhir-akhir ini? "Sering!!" (Benar lagi).

Kita saat ini tidak perlu repot-repot lagi dengan menyibukan diri terhadap iklan yang dibuat PKS, tapi realita "kampanye terselubung" dengan menggunakan anggaran negara, atas nama pemerintahan, para menteri kompak beriklan untuk memastikan dan memaksakan kepada masyarakat, bahwa pemerintahan SBY-Kalla dengan segudang programnya tengah ada di atas angin, alias berhasil menjalankan pemerintahan.

Ada apa ini? Ketika belakangan ini kita sedang meributkan krisis yang tengah menghantam parpol yang akan melangsungkan kampanye "besar-besarannya" lalu muncul iklan para menteri yang terhormat dengan begitu bombastis banyaknya. Bukankah ini "aneh bin ajaib", ketika menteri M. Nuh menyebutkan bahwa iklan parpol masih menjaga etika politik? Etika politik yang bagaimana?

Sementara, semua parpol ada yang dirundung masalah dengan iklan politiknya bahkan sampai ada yang "paranoid" untuk beriklan politik. Apakah ini sebuah kedewasaan dan keberhasilan pemerintahan SBY-Kalla?

Mari kita sama-sama membangun bangsa ini agar tidak lebih terpuruk. Hal ini bisa kita realisasikan dalam menampilkan tokoh dalam iklan parpol yang lebih mendidik masyarakat untuk tidak terjadi "golput". Kemungkinan "swing voter" seperti yang diungkapkan LSI belum lama merupakan salah satu faktor golput di masyarakat yang tidak hanya beralih pilihan, tapi juga sama sekali tidak memilih.

Ini dibuktikan nantinya oleh masyarakat kita yang tengah "cerdas" memandang politik menjelang Pemilu 2009. Jelas, ini tidak bicara pihak mana yang untung atau rugi. Tapi masyarakat lebih "bebas" akan pilihannya, termasuk tidak memilih (pun).

Untuk itu, sebagai menteri, M Nuh, punya kewajiban yang lebih berat dan tidak semestinya mengatakan hal tersebut kepada wartawan. Masyarakat sebelumnya percaya akan pemerintahan SBY-Kalla, namun swing voter tidak berbicara itu.

Selain itu, membaca salah satu media cetak di Ibukota juga hari ini (Rabu, 25 November 2008), lebih tidak etis ketika iklan parpol yang dimuat tapi berdampingan atau menempel dengan--katakanlah rivalnya. Hal yang diungkapkan M. Nuh sangat bertolak belakang dan sangat mendukung (sangat kontras) "kampanye propaganda" dari rival iklan parpol itu. Ini sangat ironis ketika M. Nuh yang notabene-nya sebagai menteri tapi sangat tidak teliti dan tidak jujur melihat realitas dan demokrasi di Tanah Air yang tengah berkembang.

Mengapa tidak? Karena, ketika si rival parpol adalah parpol oposisi. Terlebih, ketika biaya untuk iklan sudah dibayar, artinya etiket baik sudah dipenuhi oleh parpol oposisi namun tidak "digubris" oleh M. Nuh. "Hati-hati, Pak!"**

Refleksi Arti Ksatria


Sikap ksatria bagi masyarakat Indonesia merupakan sikap yang berwatakkan pahlawan. Semua orang ingin mempunyai sikap ksatria. Sikap ini yang membawa manusia selalu ingin berbuat yang terbaik bagi masyarakat. Seiring perkembangan jaman yang makin terkonsolidasi oleh negara-negara adidaya, sikap ksatria ini bukan tidak ada atau sudah luntur.

Contoh, sikap ksatria yang ditunjukkan oleh Bung Karno (sebutan familiar almarhum Ir. Soekarno) pada saat perjuangan kemerdekaan. Beliau (Bung Karno) besama kelompoknya berjuang untuk kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat nusantara. "Jatuhnya" Orde Lama (Orde Bung Karno), berdirilah Orde Baru (Pak Harto atau pemerintahan Soeharto). Selama 33 tahun masyarakat terkungkung dengan gaya Pak Harto yang otoriter. Masyarakat dipaksa tidak berbicara hal politis. Jika berani, maka berani pula menanggung resiko untuk "hilang"-itupun merupakan sikap ksatria yang "benar" a'la mereka yang ada di pemerintahan Pak Harto, termasuk di antaranya Golkar (yang kini berganti menjadi Partai Golkar setelah reformasi).

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Namun sikap ksatria juga ditunjukkan oleh para penegak hukum kita. Penegak hukum yang dipercaya oleh pemerintah yang berkuasa pada eranya-tak luput juga sebagai para orang yang dipercaya dibidangnya (hukum) oleh pemerintah. Pemerintah menunjuk mereka karena sikap ksatria pemerintah secara alam demokrasi yang berkembang-pemerintah harus bisa mencerminkan keinginan masyarakat (konstituen dan pemilihnya). Namun, nyatanya penegakkan hukum di negara kita tercinta ini hanya sebuah kepura-puraan saja.

Sebut saja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai warga yang baik dan pimpinan negara yang dipercaya masyarakat melalui pemilihan umum langsung 2004, SBY (sebutan familiar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) menunjuk para penegak hukum dari jaksa dan sebagainya untuk mengusut kasus orang hilang akibat penculikan mereka pada jaman Pak Harto. Katakan saja Pak Hendarman Supandji kini menjabat sebagai Jaksa Agung harusnya dapat menegakkan hukum. Namun, Hendarman malah berdalih-nyata-nyata para keluarga korban dan korban yang dikembalikan pulang meminta kepada DPR melalui Effendi Simbolon untuk segera mencari korban yang belum pulang dan menggulirkan pengadilan Ad Hoc untuk mengadili mereka sebagai otak para pelaku.

Namun, mana? Pak Hendarman malah berkonsolidasi dengan Pak SBY lalu ikut-ikutan panik. Secara tidak langsung Pak Hendarman dan pemerintah saling berhubungan dengan mereka yang diduga pada waktu itu memegang peranan dalam penculikan, seperti Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Wiranto. Kita akui ini juga sebagai sikap "ksatria" Pak Hendarman. Tapi tidak "ksatria" sebagai penegak hukum.

Sikap ksatria malah ditunjukkan Effendi MS Simbolon sebagai anggota DPR dan Ketua Pansus Orang Hilang Secara Paksa-kepada para keluarga korban dan korban yang selamat-yang mengadu nasib mereka sebagai korban dan keluhan keluarga terhadap anggota keluarganya yang belum ketahuan di mana rimbanya. Sikap inilah yang bagi penulis (saya) sebagai sikap "ksatria" yang "benar". Hal ini malah mendapat sandungan dari berbagai elemen. Ini harusnya disikapi dengan baik, bukan malah disebut-sebut sebagai politis.

Saya bisa rasakan ini, karena waktu itu yang saya salah satu yang bisa menyelamatkan diri. Saya nyaris bernasib seperti mereka yang saat ini sudah kembali dan masih belum pulang.

"Alhamdulillah...", hanya itu yang bisa saya katakan dan ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena sikap "ksatria" saya pada waktu pergerakan '98 (waktu itu) mendapat sambutan "hangat" para penguasa negeri ini. Saya merasa Pansus Orang Hilang Secara Paksa ini untuk melanjutkan tugas mereka dan segera menuntaskan dengan menyeret "otak" pelaku dibalik penculikan ini. Selamat berjuang!

Mengutip dari ayat Alqur'an, "Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang paling tinggi (derajatnya), jika kamu beriman." (Q.S. Ali Imran 3:139). Dan bahwa hal ini ditunjukan juga oleh Nabi Muhammad SAW bersifat ksatria dalam menegakkan keadilan hukum bagi siapa pun yang berperkara.***

Diam atau Berkata Benar


PILIHANNYA hanya dua itu, yakni diam atau berkata benar. Sebagai anggota warga negara yang baik, tatkala semua kondisinya memang sudah semakin ruwet, seperti kondisi politik sekarang ini, seorang pemimpin atau calon pemimpin harus bisa menempatkan diri dan pada situasi apa pun.

Tahun politik 2008 ini memang sangat membingungkan rakyat. Terlebih saat ini semua orang yang menamakan dirinya sebagai elite politik bermain dan menari-nari. Kenapa? Sepertinya rakyat Indonesia yang meng-gap-kan diri sebagai elite semakin gagah-gagahan di mata rakyat, baik di televisi, di koran/majalah, maupun di semua papan iklan yang ada di sisi jalan.

Apakah negeri ini menjadikan rakyat sebagai konstituen atau masyarakat awam politik harus selalu menjadi penonton dan selalu harus menjadi korban bagi elite yang sudah dipilih dengan legowo dari si rakyat itu sendiri? Sepertinya hal itu terus akan terjadi bahkan sampai kiamat, barangkali.

Semua elite bicara, semuanya saling tunjuk jari ke depan, saling tunjuk jari ke atas. Terbayang bagaimana ramainya para elite yang ingin menjadi legislatif bahkan yang ingin menjadi orang nomor satu negeri ini. Namun, ada seorang tokoh yang dia tidak banyak bicara dan 'lagu' seperti elite lainnya. Bahkan hal itu bisa menjadi contoh yang baik buat diteladani.

Megawati Soekarnoputri tidak recet seperti elite lainnya, semuanya sudah terbayang haus kekuasaan. Bahkan Megawati pernah ditulis di berita pada salah satu media cetak Jakarta bahwa wakil yang bakal menemani beliau ada di dalam hati. Sangat-sangat puitis dan menenteramkan hati rakyat yang membaca berita itu, terlebih ketika seluruh elite seperti benang kusut.

Itulah teladan yang baik, seperti Nabi Muhammad SAW, seperti yang diriwayatkan, Ahmad memberikan contoh ketika melihat kondisi memanas Rasulullah diam. Karena itu akan mengindikasi kemarahan orang atau golongan dan bisa dilihat dari seberapa jauh tingkat 'kekasaran' dan kekerasan ucapan elite (orang) atau golongan tersebut. Semakin rumit, semakin kasar, jika sudah tidak tertahankan, nanti akan terjadi adu mulut yang berkembang menjadi adu fisik, perkelahian. Dari perkelahian kecil bisa berkembang menjadi pembunuhan.**

Tugas Negara dan Kampanye Pemilihan Umum


Setelah Lebaran, kita kembali dilanda sakit kepala yang sebelumnya sudah ada. Secara pribadi ini saya alami dengan begitu banyaknya peraturan Pemilihan Umum 2009.

Beberapa waktu lalu ada pengesahan ketentuan bahwa pejabat negara—seperti para menteri, gubernur, panglima TNI, kepala Polri, serta pemimpin lembaga tinggi negara, seperti DPR, DPD, MPR, dan MK—harus cuti bila ikut dalam pencalonan. Tentu masuk akal bila mereka mendapat kesempatan sebagai calon anggota legislatif atau bahkan presiden.

Nah, bagaimana dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini masih menjabat sebagai orang nomor satu di negeri ini, sementara sebelum Lebaran dia telah menyatakan mengajukan dirinya lagi sebagai presiden kurun 2009-2014? Bagaimana masyarakat bisa membedakan Yudhoyono ketika sedang melaksanakan tugas negara atau sedang dalam kampanye sebagai calon presiden?

Setelah banyak membaca media cetak, saya berkesimpulan bawa peraturan-peraturan yang ada dibuat sebagai strategi mereka yang ingin ikut maju, baik dalam pemilihan anggota legislatif maupun dalam pemilihan presiden. Ada UU Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2008, ada RUU Pemilihan Presiden yang segera selesai. Masih banyak lagi macamnya. Masih ada perdebatan di sana-sini, pasal ini dan itu. Apakah alam demokrasi di negeri kita masih seperti ini?

Selamat Berjuang, Bu...

Kembali dipertentangkan suara dalam pemilihan gubernur di Jawa Timur akan menjadi sejarah pertama kali dalam proses demokrasi di Indonesia untuk mengetahui kebenaran perhitungan suara riil. Kenyataan yang sangat mengejutkan ketika Kaji (Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono) pada sore hari perhitungan suara setelah proses pilgub selesai menang, tapi pada keesokan harinya ternyata Karsa (Soekarwo-Saifullah Yusuf) malah unggul atas Kaji. Ternyata setelah dikaji di Mahkamah Konstitusi memang terdapat kecurangan di beberapa daerah pemilihan di Jatim.

Seperti dikutip dari media cetak, elektronik dan online, serta sudah dipublikasikan oleh KPUD Jatim bahwa pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) atas pasangan Khofifah Indarparawansa-Mudjiono (Kaji). Karsa meraih 7.729.944 suara (50,20 persen), sedangkan Kaji 7.669.721 suara (49,80 persen). Selisih suara keduanya hanya 60.223. Perkembangan angka suara hasil akhir ini bumerang bagi Karsa untuk memenangkan pilgub Jatim. Memang benar, kebenaran itu harus diungkap sehingga tidak menjadi problematik di suatu saat nanti. Namun, angka suara hasil KPUD itu malah jadi masalah yang beberapa waktu sebelumnya diungkapkan oleh orang yang dijadikan bumper oleh oknum yang tidak bertanggung jawab itu.

Bangkalan dan Sampang adalah daerah yang akan menjadi saksi sejarah pemilihan ulang Kaji Vs Karsa. Sementara, Pamekasan menjadi saksi sejarah penghitungan ulang suara hasil pilgub Jatim awal minggu bulan November 2008 kemarin. Hal ini adalah kedewasaan masyarakat dalam berpolitik, sehingga apapun model kecurangan yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab dapat diminimalisir.

MK membuat sebuah kesimpulan akhir bahwa telah terjadi pelanggaran yang berpengaruh pada perolehan suara di tiga kabupaten itu. Salah satu buktinya adalah kontrak Soekarwo dengan Sekjen Asosiasi Kepala Desa Jatim serta surat pernyataan 19 kepala desa memenangkan Karsa. Ini fatal akibatnya.

Selain itu, demi kedewasaan politik di Indonesia yang melihat gender dari sudut pandang umum. Artinya, apapun jenis kelaminnya bisa memimpin, baik gubernur atau bahkan presiden, dengan catatan dia mampu memimpin dan dapat membawa yang dipimpinnya itu ke arah yang lebih baik (dalam hal ini sejahtera).

Seperti dirilis oleh media cetak dan online di Jakarta baik dalam berita maupun opini atau surat pembaca, gender dalam politik sudah bukan masalah. Hal ini memang dibuktikan dalam pengaruh dunia politik tidak terlepas dari kaum hawa yang bisa memimpin. Selain itu, baik dari seorang (yang mampu menjadi) pemimpin kaum hawa pun saling menopang. Dalam hal ini Kaji Vs Karsa, Ibu Megawati (mantan Presiden RI ke-5) mendukung penuh agar kader dan simpatisan PDI-Perjuangan memilih Khofifah. Ketua Umum DPP PDI-Perjuangan itu tidak canggung-canggung naik ke podium dan meminta loyalisnya untuk memberikan suaranya kepada pasangan Kaji.

Ini merupakan bukti bahwa ketika kaum hawa berpolitik, tidak segan-segan untuk saling membantu. Program-program yang dicanangkan oleh Kaji-pun dinilai sangat pro-rakyat. Inilah yang mesti dibulatkan dukungan, sehingga suara penuh nanti dalam pemilihan ulang di dua daerah itu (Bangkalan dan Sampang) serta penghitungan suara ulang di Pamekasan lebih mendukung Kaji untuk memimpin Jatim.

Saat ini sudah tidak lagi persoalan perempuan memimpin. Biasanya, sang ibu (perempuan) itu dalam berkeluarga ia adalah sangat memperhatikan seluruh anggota perkembangan keluarganya. Hal ini pun akan diterapkan oleh Kaji dalam memimpin Jatim—bahkan Bu Mega juga tengah memperjuangkan pertanian yang merupakan sektor penopang ekonomi bangsa.

“Si Ibu” (Megawati dan Khofifah) sangat peduli dalam sektor ini, maka dalam harapan bisa membangkitkan dan menggairahkan para pertanian agar masyarakat pun tak menyesal memilih Kaji atau Bu Mega. Semoga “si Ibu” unggul dalam pemilihan nanti, amin.**