Kebijakan Menteri tak Sejalan dengan Realitas


(Tanggapan untuk Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh terhadap pernyataannya dalam konferensi pers di Bali)



Sebagai seorang menteri yang bertugas berkenaan dengan dunia informasi dan komunikasi Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh memang menjalankan fungsinya. Terlebih, dalam "masa sensitif" (menjelang Pemilu 2009) ini untuk "menetralkan" suasana, hal yang pantas atau tepat beliau (M. Nuh) mengatakan sejauh ini iklan partai politik (parpol) masih menjaga etika. Hal ini dikatakan menteri seusai membuka Asia Pasific Broadcasting Union di Nusa Dua, Bali (Senin, 24 November 2008).

Jika kita lihat baca bersama-sama hari Rabu (26 November 2008) di media cetak nasional, M. Nuh mengatakan parpol masih realistis menyampaikan pesan politiknya. Namun, jika kita lihat lebih detil lagi, bukankah yang kampanye itu adalah personalnya?

Mari kita lihat satu persatu kondisinya. Seberapa banyak frekuensi parpol berkampanye? Seberapa sering parpol berkampanye di media elektronik atau media cetak dengan menampilkan tokoh yang bersangkutan atau tokoh pemimpin partainya? Jawabnya: "Sering." (Benar).

Jika diijinkan untuk mengutip sebuah perbendaharaan bahasa nasional, etika artinya yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Subyek yang beretika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik, dan sebaliknya.

Nah, hal ini yang membingungkan masyarakat—di saat masyarakat sedang dalam "proses" mencerdaskan diri akan dunia politik belakangan ini malah dijejali sambutan pejabat yang tidak "elok" berkaitan dengan pembelajaran politik di masyarakat ini. Mengapa demikian?

Kembali pada paragraf tiga di atas, kita bertanya lagi, seberapa sering belakangan ini para menteri yang membantu pemerintahan SBY-Kalla gencar di media elektronik—terlebih akhir-akhir ini? "Sering!!" (Benar lagi).

Kita saat ini tidak perlu repot-repot lagi dengan menyibukan diri terhadap iklan yang dibuat PKS, tapi realita "kampanye terselubung" dengan menggunakan anggaran negara, atas nama pemerintahan, para menteri kompak beriklan untuk memastikan dan memaksakan kepada masyarakat, bahwa pemerintahan SBY-Kalla dengan segudang programnya tengah ada di atas angin, alias berhasil menjalankan pemerintahan.

Ada apa ini? Ketika belakangan ini kita sedang meributkan krisis yang tengah menghantam parpol yang akan melangsungkan kampanye "besar-besarannya" lalu muncul iklan para menteri yang terhormat dengan begitu bombastis banyaknya. Bukankah ini "aneh bin ajaib", ketika menteri M. Nuh menyebutkan bahwa iklan parpol masih menjaga etika politik? Etika politik yang bagaimana?

Sementara, semua parpol ada yang dirundung masalah dengan iklan politiknya bahkan sampai ada yang "paranoid" untuk beriklan politik. Apakah ini sebuah kedewasaan dan keberhasilan pemerintahan SBY-Kalla?

Mari kita sama-sama membangun bangsa ini agar tidak lebih terpuruk. Hal ini bisa kita realisasikan dalam menampilkan tokoh dalam iklan parpol yang lebih mendidik masyarakat untuk tidak terjadi "golput". Kemungkinan "swing voter" seperti yang diungkapkan LSI belum lama merupakan salah satu faktor golput di masyarakat yang tidak hanya beralih pilihan, tapi juga sama sekali tidak memilih.

Ini dibuktikan nantinya oleh masyarakat kita yang tengah "cerdas" memandang politik menjelang Pemilu 2009. Jelas, ini tidak bicara pihak mana yang untung atau rugi. Tapi masyarakat lebih "bebas" akan pilihannya, termasuk tidak memilih (pun).

Untuk itu, sebagai menteri, M Nuh, punya kewajiban yang lebih berat dan tidak semestinya mengatakan hal tersebut kepada wartawan. Masyarakat sebelumnya percaya akan pemerintahan SBY-Kalla, namun swing voter tidak berbicara itu.

Selain itu, membaca salah satu media cetak di Ibukota juga hari ini (Rabu, 25 November 2008), lebih tidak etis ketika iklan parpol yang dimuat tapi berdampingan atau menempel dengan--katakanlah rivalnya. Hal yang diungkapkan M. Nuh sangat bertolak belakang dan sangat mendukung (sangat kontras) "kampanye propaganda" dari rival iklan parpol itu. Ini sangat ironis ketika M. Nuh yang notabene-nya sebagai menteri tapi sangat tidak teliti dan tidak jujur melihat realitas dan demokrasi di Tanah Air yang tengah berkembang.

Mengapa tidak? Karena, ketika si rival parpol adalah parpol oposisi. Terlebih, ketika biaya untuk iklan sudah dibayar, artinya etiket baik sudah dipenuhi oleh parpol oposisi namun tidak "digubris" oleh M. Nuh. "Hati-hati, Pak!"**

Tidak ada komentar: