Anti Korupsi Hanya Selogan


Tindakan korupsi setidak-tidaknya “mesin pembunuh” generasi, baik dari generasi yang tengah dikorup, sampai generasi penerus. Sebagai tindakan “asusila” korupsi memang semestinya dihentikan dengan cara yang lebih tegas. Namun, tindakan tegas pun tidak serta merta menjadi “obat mujarab” bagi bersihnya pelaku korupsi di berbagai sendi kehidupan.

Sebagai contoh, perbuatan bagi sebagian orang yang ditugaskan negara untuk mendata ulang masyarakat—di sebagian kantor pelayan uimum di kecamatan dan kelurahan masih sering “sarang” tindakan korupsi tersebut. “Kutipan” selalu menjadi alat bagi petugas di kantor pelayanan pembuatan atau memperpanjang Kartu Tanda Penduduk agar cepat diselesaikan. Memang, tarifnya tidak ditentukan tapi meski demikian masyarakat tetap saja “mengiyakan” agar urusannya cepat kelar.

Pendidikan dan pembelajaran korupsi menjadi benih bagi kelanjutan tindakan korupsi selalu dilakukan. Kenyataan ini tidak ada seorang pun dalam menyelesaikan urusannya untuk menolaknya, atau bahkan mengatakan “Tidak”, atau “Tidak mau!!”, atau “Tidak akan!!”, atau bahkan “Akan saya laporkan Anda nanti kepada atasan Anda atau petugas kepolisian!”.

Ketidak-beranian ini sudah menjadi watak bagi sebagian besar masyarakat kita menyikapi tindakan korupsi. Sejujurnya, tidak hanya di kantor Kecamatan atau Kelurahan, bahkan ketika melapor kepada pihak berwajib—katakanlah yang dimaksud di sini kepolisian, baik Polsek maupun Polres—hal itu sudah dianggap biasa sebelum melakukan tindakan.

Meski pemerintah kini tengah menggiatkan atau mengampanyekan “Anti Korupsi”, hal ini tidak gaung. Hanya sekedar lips service yang selalu mewarnai di media-media kita saja. Gaungnya Anti Korupsi ini bagi sebagian kalangan merupakan progress-nya program pemerintahan dalam melakukan penindakan kepada siapapun yang melakukan korupsi. Tapi, tidak bagi sebagian besar masyarakat yang merasakan langsung ulah ini.

Sebagai seorang pejabat negara yang sangat diagungkan oleh pejabat di bawah lainnya, tindakan tidak melakukan korupsi jelas harus dinilai sebagai tindakan “penjilatan”, ketimbang menyuskseskan program pemerintah Anti Korupsi. Ada indikasi ingin diakui dan dilihat sebagai petugas yang sangat menolak korupsi, padahal tidak bukan dan tidak lain sebagai perbuatan ingin pejabat yang sedang mengurus surat identitas, misalnya, supaya cepat selesai dan dianggap sebagai petugas yang tanggap.

Inilah yang dikatakan bahwa program pemerintah tentang Anti Korupsi tidak gaung. Lalu, mau menolak kenyataan ini bagaimana? Toh, memang ini kenyataannya. Silahkan saja tanya untuk survei, apakah benar atau tidak. Untuk catatan saja, ketidak-dilanjutkannya “ulah” itu, karena mereka sudah mendapat “calling” dari pihak tertentu bahwa ingin disidak dan/ lainnya. Boleh, bapak-bapak di pemerintahan menyobanya.**

Tidak ada komentar: