Bukan “Politik Dendam” atau “Dendam Politik”


Pertemuan yang dilakukan Megawati Soekarnoputri dan suami tercinta yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan, Taufik Kiemas pada Rabu, 10 Desember 2008 kemarin, dengan Surya Paloh bukanlah suatu yang begitu saja terjadi. Pertemuan itu dilaksanakan karena: pertama, kedua-duanya adalah tokoh.

Surya Paloh adalah tokoh dari Partai Golkar dan orang yang sangat memegang peranan penting di Partai Golkar. Selain itu ia (Surya Paloh) juga merupakan tokoh pers nasional yang luar biasa—sekaligus pemilik media massa elektronik yang tengah digarapnya. Megawati Soekarnoputri merupakan tokoh andalan PDI Perjuangan, Megawati yang mantan presiden itu juga dielu-elukan dalam dunia partai politik yang akan bertarung di Pemilu 2009 nanti.

Pertemuan yang bukan suatu kebetulan itu, jika memang kita lihat dari sudut pandang politis adalah proses pendekatan untuk membangun koalisi partai besar untuk sama-sama mengangkat “sekarung masalah” yang tidak terselesaikan pada pemerintahan SBY-Kalla—apalagi banyak kekecewaan masyarakat ketika membicarakan pejabat tertinggi negara ini tentang ekonomi.

Beberapa survei juga sudah membuktikan, termasuk di antaranya Litbang di media cetak Ibukota—menyebutkan ketika melihat nama ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono masih berada di peringkat atas. Tapi, jika bicara kinerja pemerintahan pada ekonomi, SBY-Kalla “tidak normal” karena masih berada di bawah totok “nol” ketimbang pertama waktu menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 lalu. Hal ini terbukti jelas ketika harga sembako belum juga turun, BBM diturunkan ketika masanya menghadapi Pemilu 2009. Hal sebaliknya juga SBY-Kalla tunjukkan pada iklan kampanye tentang keberhasilan program yang dijalankan pemerintah. Ironi sekali, bukan?

Tapi, Megawati Soekarnoputri sebagai seorang ibu yang memikirkan “keluarga besarnya” (baca: seluruh rakyat Indonesia) tengah mengampanye sembako yang mungkin tidak tahu kapannya pada pemerintahan SBY-Kalla ini akan semakin mencekik. Seorang ibu, awalnya tidak mau mengultuskan, karena jika psikologinya seperti itu maka akan menjadi orang yang arogan. Makanya hal itu tidak Megawati lakukan.

Bahkan, ia dengan legowo tanpa ada dendam sama sekali pada Partai Golkar yang dulu bisa dibilang saling membenci karena sejarah politik—bersilaturahmi dengan Surya Paloh, Ketua Dewan Penasihat DPP Partai Golkar. Jikapun, ini adalah proses “silaturahmi politik” yang terpenting lagi, ini bukan “politik dendam”.

Proses politik membangun koalisi permanen yang pernah didengungkan Taufik Kiemas, insya Allah akan berhasil karena tidak ada dendam politik. Demi membangun kesejahteraan rakyat yang lebih baik, koalisi dengan Partai Golkar membaca dari media cetak merupakan usaha Taufik Kiemas yang sangat ingin membangun kesejahteraan yang lebih baik, ketimbang SBY-Kalla yang hanya janji-janji saja.

Meskipun, Muhammad Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum DPP Parti Golkar—tidak menutup kemungkinan antara PDI Perjuangan dan Partai Golkar bisa bersama-sama membangun kesejahateraan. “Why not?”

Hal ini juga mendapat sambutan baik Megawati Soekarnoputri, tokoh PDI (nama PDI Perjuangan sebelum berganti nama) yang pernah didzalimi pada 27 Juli 1996. Megawati menunjukkan itikad baik “silaturahmi politik” dengan Partai Golkar, bukan “dendam politik”. ***

Tidak ada komentar: