Golput ≠ Swing Voter ≠ Kemajuan Demokrasi

Akhir-akhir ini di media massa, baik cetak, eletronik atau online—sedang ramainya membicarakan golongan putih. Kebutuhan dalam sebuah negara demokrasi adalah memilih dan tidak memilih.

Sebagai bangsa yang sedang menjajaki keutuhan tanda kutip sebuah demokrasi yang benar—mata internasional selalu terjuju terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Karenanya, perkembangan demokrasi etisbnya harus sejalan dengan para intelektual yang jago tanda kutip dalam urusan demokrasi ini. Kenyataan yang terjadi, memang benar sedah seperti kalimat sebelumnya. Namun, lebih ekstrim lagi si aktor intelektual ini memang mempunyai gaung yang amat besar pagi heterogen suku dan agama di Indonesia.

Heterogen ini secara otomatis, memberikan semangat masyarakat untuk belajar. Pelajaran yang amat langka dalam sejarah republik ini setelah revolusi kemerdekaan yang dipimpin sejumlah tokoh termasuk di antaranya Ir Soekarno, Pemilu 2009 ini memang teramat unik. Dengan bangga, banyaknya partai dinilai sebagai sebagai luapan hati nurani masyarakat, padahal hanya segelintir orang saja. Hal ini pasti memusingkan kita bagaimana hal ini bisa terjadi. Ketika partai berjumlah tiga pada era Soeharto saja menghasilkan pemimpin yang otoriter, apalagi saat ini?

Makanya, dari keblunderan politik ini akhirnya tidak segan-segan salah satu tokoh yang sangat mencuat ini menawarkan golput. Tetap saja hal itu jika dipandang sebagai seruan yang tidak benar. Masyarakat, saat ini sudah dipaksa—dijejali dengan banyak partai “sok idealis”. Masyarakat saat ini “tidak miskin” pelajaran. Yang terpenting bagi masyarakat ketika hari ini dan hari selanjutnya bisa makan.

Adat dan adab masyarakat Indonesia sudah sangat kental dengan sesuatu yang berhubungan dengan “perut”. Lebih dari sekedar perut, masyarakat juga ingin meningkatkan gizi—lebi dari itu untuk generasi selanjutnya. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan turunnya harga BBM—yang diputuskan SBY belum lama ini. SBY bukanlah tipe pemimpin yang bisa dibanggakan saat ini, karena keputusannya itu selalu ia domplengi untuk “kerakusan” kekuasaan. Yang dibutuhkan masyarakat harga sembako bisa terjangkau—agar bisa makan, itu saja.

Retorika yang digembar-gemborkan untuk golput hanya penyesatan masyarakat yang sudah “putus asa” akan kemajuan demokrasi di tanah air. Padahal, tidak seperti itu. Masyarakat harus dibangkitkan agar harga sembako terjangkau.

Sudah saatnya masyarakat harus bisa lebih mandiri, ketimbang harus mengikuti seruan untuk golput. Sementara, swing voter bisa diarahkan untuk kemajuan kesejahteraan dan kemakmuran—tidak hanya menelan seruan kosong yang bernama golput. Keyakinan ini mesti terus disemangati agar kemajuan demokrasi kita lebih dari sebelumnya, maksimalnya kebutuhan sembako untuk masyarakat sudah terpenuhi.**

Tidak ada komentar: