Vox Populi Vox Dei


BARACK Obama, dari Partai Demokrat, menang gemilang. Tokoh muda berkulit hitam, berayah kandung orang Afrika, berayah tiri orang Asia, dan ibunya seorang kulit putih Amerika, telah sampai di ambang pintu kekuasaan, kekuasaan menggerakkan perubahan di Amerika dan dunia. Vox populi, vox Dei. Lewat mayoritas dari pemilih Amerika, takdir menentukan Barack Obama akan memelopori politik moral yang mudah-mudahan akan mengutamakan kemanusiaan. Kilas balik proses pemilihan umum Amerika 2008 menunjukkan tema kampanye 'Kita Perlu Perubahan', yang didengungkan Obama, tepat waktu ketika situasi ekonomi dan citra Amerika sedang terpuruk. Maka untuk golongan muda dan mereka yang berpendidikan, yang berpandangan jauh ke depan, dan peka akan situasi masyarakat dunia, tema itu kedengaran menantang, menggairahkan, dan memberi harapan bagi semuanya.

Namun, walaupun terjadi perubahan dapat dipastikan spirit kepeloporan yang diwariskan kaum imigran dari Eropa, yang mula-mula datang di benua itu, akan tetap dipertahankan. Spirit itu sudah menjadi jiwa dan kerangka pikir bangsa Amerika. Karena spirit itulah Amerika tidak mungkin melalukan 'splendid isolation', unggul tetapi menutup diri, seperti yang pernah dilakukan Inggris di masa lalu. Amerika pastilah ingin selalu terlibat, bahkan menjadi pelopor dalam perpolitikan dunia. Mudah-mudahan gayanya berbeda dari masa lalu.

Jika dilihat dari perspektif masyarakat internasional yang mulai kesal dengan pemaksaan hegemoni adidaya Amerika, tema perubahan juga tepat waktu karena dunia mengharapkan Amerika menganut pola pikir yang tidak mengabaikan kepentingan universal. Hal itu menjawab, mengapa survei terhadap sebagian masyarakat internasional--termasuk di Indonesia--menunjukkan bahwa mayoritas memilih Obama sebagai presiden Amerika. Masyarakat dunia tidak lupa akan keputusan sepihak Amerika menyerbu Irak tanpa persetujuan PBB, juga sikapnya yang alot untuk kesepakatan bersama guna mengurangi pemanasan bumi yang menuntut pengurangan kepulan asap industrinya. Untuk Amerika itu berarti akan melemahkan perekonomiannya. Mudah-mudahan problem pemanasan bumi yang mengancam kehidupan menjadi salah satu yang diprioritaskan Amerika baru.

Pola pikir kalangan tua/konservatif Amerika cenderung mengacu pada pola pikir zaman Perang Dingin, ketika Amerika mengandalkan dominasinya di bidang militer dan selalu siaga terhadap siapa pun yang melawannya. Maka sesuatu perubahan dicurigai akan menimbulkan risiko yang merugikan. Tema 'Country First' mencerminkan sikap itu. Peristiwa pengeboman World Trade Center pada 11 September 2001, dan reaksi Amerika terhadap tindak teror itu membuktikan sikap tersebut. Tidak berlebihan untuk mengatakan respons Presiden Bush terhadap peristiwa itu telah mengubah peta perpolitikan dunia. Selama pemerintahan Bush, hubungan Amerika dengan wilayah Timur Tengah memburuk. Presiden Bush tidak melihat peristiwa 11/9 sebagai reaksi terhadap sikap dan aksi Amerika, tetapi lebih sebagai tindakan terorisme yang menjadi momok bagi ketertiban dunia yang harus ditumpas. Dalam kampanyenya, McCain, dari Partai Republik, mengaitkan Obama dengan kelompok radikal tersebut. Di bidang ekonomi McCain menyebut Obama sebagai 'sosialis', sebutan yang dianggap menakutkan bagi masyarakat Amerika, walaupun faktanya kedua kandidat sama-sama setuju pemotongan pajak dan langkah penyelamatan ekonomi sebesar $700 miliar.

'Isme' di Amerika
Ahli ekonomi Amerika Dr John Kenneth Galbraith (1908-2006) pernah mengatakan, selama puluhan tahun kita memiliki konsepsi bahwa perekonomian dunia terbagi dalam dua kutub, sistem kapitalis dan sistem sosialis, yang sering pula disebut komunis. Di negara yang menganut kapitalisme sungguh tabu menyebutkan bahwa suatu tindakan berbau sosialis atau komunis, demikian pula sebaliknya.

Maka sebutan 'sosialis' di Amerika barangkali sama menakutkannya dengan sebutan 'komunis' di Indonesia. Bahwa McCain menyebut Obama sosialis tentunya dimaksudkan untuk menjatuhkan Obama di mata pemilih, walaupun Obama memang menginginkan semua lapisan dari semua kalangan sama-sama bisa menikmati distribusi kekayaan negara. Sikap itu tecermin dalam ungkapan-ungkapan kampanyenya.

Menurut Galbraith, dalam babak sejarah sekarang ini komitmen ideologis yang dengan kuat memagari pemikiran dan tindakan kedua sistem sudah goyah. Di Amerika, katanya, asas 'free enterprise' didengung-dengungkan sesuai dengan ajaran kapitalisme. Namun, ternyata program itu tidak terwujud sesuai teori. Peran pemerintah Amerika dalam perekonomian semakin kentara. Campur tangan makin meluas demi tingkat produksi dan jaminan kerja. Dengan kata lain, pada waktu ini kedua sistem menunjukkan, sekarang bukan masanya mempertarungkan ideologi, tetapi malah masanya untuk akomodasi. Kedua 'isme' saling mengakomodasi.

Beberapa hari sebelum pemilu Amerika pada 4 November 2008, CNN menayangkan diskusi panel yang membicarakan unsur-unsur yang diprioritaskan para capres dan cawapres. Yang terdaftar jauh di atas, lebih dari 50%, adalah masalah ekonomi. Berikutnya masalah perang Irak--belasan persen--kemudian menyusul lain-lainnya. Ada hal-hal yang dalam pemilihan yang lalu populer sebagai topik kampanye tidak disebut-sebut lagi, misalnya, soal imigrasi. Hal itu pertanda terjadinya perubahan dalam prioritas berpikir rakyat Amerika. Panel itu mempertanyakan, bagaimana dengan konservatisme di Amerika?

Futurolog Amerika Alvin Toffler (1928-...) sudah 20 tahun yang lalu dalam ceramahnya di Indonesia mengatakan, perkembangan-perkembangan terjadi begitu cepat sehingga tidak relevan lagi berbicara tentang liberalisme, Marxisme atau teori-teori tradisional lainnya. Argumentasi Toffler, setelah mengalami revolusi pertanian yang menggantikan kultur berburu yang berangkat 10.000 tahun yang lalu (gelombang pertama), lalu revolusi industri selama sekitar 300 tahun (gelombang kedua, 1600-1900), kita sekarang memasuki masa pascaindustri, masa transisi baru ke arah perubahan-perubahan sosial dalam gelombang ketiga. Masa ini antara lain disebut juga abad informasi, merujuk pada maraknya lalu-lalang informasi. Dalam gelombang ketiga ini terjadi berbagai krisis sehingga rumusan-rumusan lama terasa tidak berlaku lagi untuk menghadapi problem-problem masa kini.

Untuk pembandingan, menurut perumusan tradisional, konservatisme di bidang politik adalah suatu perspektif ideologi yang menganggap tugas utama pemerintahan adalah menjadi sarana untuk memelihara ketertiban masyarakat dan mengintegrasikan berbagai bagian dalam sistem kemasyarakatan menjadi kesatuan yang harmonis. Menurut pandangan ini yang terpenting adalah menjaga agar hubungan antarkelompok tetap stabil. Yang berperan dalam panggung politik adalah kalangan elite, yakni mereka yang memiliki kekuasaan terbesar dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk kepemimpinan, seperti harta kekayaan, kebijaksanaan, pengalaman, dan keluhuran moral. Golongan itulah yang membuat keputusan-keputusan demi kepentingan rakyat. Kalau, toh, terjadi perubahan, konservatisme menghendaki perubahan yang tertib dan damai, tidak secara revolusioner di bawah bimbingan golongan elite.

Apakah konsep lama konservatisme itu masih berlaku dalam sistem demokrasi di Amerika sekarang? Kalau melihat hasil pemilu AS 2008, konsep itu rasanya tidak sepenuhnya diterima, sekalipun Partai Republik sering diasosiasikan dengan paham konservatisme.

Kesiapan berubah
Nancy Gibbs dari majalah Time, edisi 27 Oktober 2008, mengatakan, "...history is a dance of luck and intent, and sometimes they trip each other." Sejarah adalah dansa antara keberuntungan dan niat, dan terkadang mereka saling menginjak. Mungkin yang dia maksudkan, perjalanan sejarah tidak selalu mulus. Keberuntungan dan keinginan kadang-kadang tidak seiring. Bertalian dengan pemilu Amerika, bagi Obama dua hal itu bergerak seiring. Vox populi, vox Dei. Kalau Obama tidak mengingkari niatnya, impiannya, 'I'd like to teach the world to sing...,' kutipan dari sebuah nyanyian bisa menjadi kenyataan.

Kampanye Barack Obama, antara lain mencerminkan angan-angannya agar percaturan internasional bukan lagi didasarkan pada kekuatan militer, tetapi pada negosiasi. Itu berpangkal dari politik moral dan keyakinannya bahwa demokrasi terwujud dalam berbagai bentuk. Dia menghormati adanya perbedaan antarkultur yang beragam.

Masyarakat selalu berubah, apakah katalisatornya dari dalam atau dari luar. Cepat lambatnya perubahan tergantung pada kesiapan masyarakatnya. Sekarang ini mayoritas rakyat Amerika siap berubah karena keterpurukan ekonomi dan citranya. Dalam hal perubahan yang akan digerakkan Barack Obama, bisa dikatakan perubahan itu tentunya didasari pula berbagai pengalaman Obama sewaktu kecil dan remaja. Ayahnya yang berkebangsaan Kenya berpendidikan dari Harvard, pergi meninggalkan keluarga ketika Obama berusia dua tahun. Dua tahun kemudian ibunya, seorang antropolog, menikah dengan Lolo Soetoro Mangunharjo dari Indonesia, yang seperti Obama senior, bertemu dengan ibunya sewaktu di Universitas Hawaii. Mereka pindah dari Hawaii ke Jakarta ketika Obama berusia sekitar tujuh tahun. Di Ibu Kota Indonesia ini Obama kecil pernah menyandang nama Barry Soetoro, mengambil nama akhir ayah tirinya. Namun, dia hanya tinggal 3-4 tahun di Indonesia sebelum pindah kembali ke Hawaii, tempat kelahirannya (1961) dan tempat kediaman kakek-neneknya dari pihak ibu yang membesarkan Obama. Cerita itu dipetik dari buku Obama Nation (2008) karya Jerome R Corsi PhD, yang beredar ke pasar buku seluruh dunia. Penulisnya, pendukung McCain, benar-benar memojokkan Barack Obama, baik tentang asal-usul, pribadi, maupun keyakinannya tentang agama, politik, dan ekonomi.

Buku yang bernada negatif, maupun kampanye negatif bersifat pribadi oleh pesaingnya, tidak menghalangi Obama menemui takdirnya. Amerika akhirnya menerima Barack Obama sebagai presidennya yang ke-44, orang Amerika keturunan Afrika pertama untuk jabatan tersebut. Sejarah mencatatnya sebagai pertanda bahwa mayoritas rakyat Amerika telah siap mengadakan perubahan. Vox populi, vox Dei.