SBY Pemimpin Partai, Bukan Pemimpin Rakyat Indonesia

Pernyataan yang dikatakan oleh Andi Malarangeng yang mengatakan bahwa BBM memang terbukti telah turun sebanyak tiga kali hanyalah logika anak kecil saja. Terlebih ketika, PDI Perjuangan (PDIP) yang mana rival Partai Demokrat (PD) menyebutkan iklan yang dibuat PD merupakan langkah licik menghadapi Pemilu 2009 agar bisa meraup suara yang sebanyak-banyaknya.

Bagaimana tidak licik, kenyataannya di sini terlihat SBY sebagai jajaran pengurus PD dan Presiden RI menggunakan kesempatan gratis sebagai penguasa yang bisa menggunakan kekuasaannya untuk memuat iklan kampanye partainya mengenai penurunan BBM yang sudah ia putuskan. SBY sangat tidak etis dalam menggunakan program pemerintah untuk penurunan BBM sebagai kampanye partai.

Dengan menggunakan logika sederhana saja, presiden merupakan pemimpin negara yang terdiri dari berbagai macam suku, dan golongan, juga kelompok. Tapi, Presiden SBY merupakan pemimpin orangnya PD, bukan pemimpin rakyat Indonesia.

Peta Politik 2009 Terus Berubah


Kerja konkrit ketimbang yang mempunyai kekuasaan Megawati Soekarnoputrilah lebih konkrit. Kampanye di Indonesia Bagian Timur yang diawali sejak beberapa saat lalu, terbukti Megawati amat peduli dengan masyarakat yang ada di bawah. Mereka selalu menyebut Megawati adalah orang yang pendiam dan tidak bisa berbuat lebih untuk bangsa Indonesia—sekarang malah kebalikannya.

Memang menurut lembaga survei LP3ES SBY bisa mengalahkan Megawati Soekarnoputri di beberapa wilayah di Jakarta, Banten, Jabar, Jateng serta beberapa belahan Jawa lainnya di tambah NTT, Kalimantan Sulawesi. Tapi, sebagai bagian wilayah Indonesia juga—Papua, Ambon, Manokwari, dan seluruh belahan Indonesia Bagian Timur pun punya hak pilih. Dalam peta wilayah, bahkan beberapa wilayah di Indonesia Bagian Timur sangat sulit dijangkau oleh KPU untuk menyelenggarakan Pemilu 2009 nanti.

Jangan salah, meski di Indonesia Bagian Barat SBY bisa mengungguli Megawati tapi perlu diingat peta golput atau swing voter belum berubah antara 30 sampai 50 persen. Bahkan, bukan hal yang mustahil ketika Megawati melajutkan silaturahmi politiknya menyisir ke wilayah barat memungkinkan Jawa pun bakal terbelah akan “kekuasaan” suara SBY. Itupun jika SBY masih “menganggap” Muhammad Jusuf Kalla—jika pun iya tapi ancaman “pengikut” Gus Dur dari kalangan NU tidak bisa diabaikan begitu saja saat ini (ketika SBY-Kalla masih berkuasa).

Apalagi beberapa waktu lalu SBY sudah melakukan pelanggaran dengan menodai kampanyenya oleh tim suksesnya sendiri, yakni dengan menyewa Saiful Mujani dengan LSI-nya.

Selain itu, beberapa kalangan pengamat kawakan masih mengakui mereka yang berlebel swing voter, malah seruan Gus Dur pun masih digubris oleh beberapa level di bawah payung NU. Tapi, kerja keras Khofifah Indarparawansa sebagai bukti bakalan golput bisa diminimalisir. Jangan berbangga hati dulu, hai SBY beserta tim suksesnya.**

Tidak Peka, Ya Mundur Saja!


Terjadi penurunan pada pertumbuhan perekonomian Indonesia pada akhir tahun 2008 dianggap suatu hal yang lumrah. Bahkan dengan bangga, Presiden SBY menyebutkan meskipun penurunan sampai 0,2 persen merupakan “usaha yang baik” Indonesia sebagai negara Asia dibandingkan dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat (08 persen) dan Jepang (2,3 persen). Terlebih dalam statement Presiden SBY hanya perkiraan.

Sebagai bangsa yang mempunyai etika ketimuran merasa harusnya malu. Karena, dibanding dnegan perkembangan indeks kemiskinan yang makin naik dan prediksi angkap pengangguran yang makin tinggi juga yakni sampai 8 persen. Seharusnya, sebagai pemimpin yang setidaknya harus menjadi panutan bagi yang dipimpinnya merasa malu dan tidak ingin mengumbar-umbar angka perekonomian yang menurun 0,2 persen itu dari pertumbuhan perekonomian 6,3 persen itu pada 2007 kemarin.

Hal ini juga tidak serta-merta dibilang sebagai usaha dari para ekonom barisan SBY dalam menghadapi krisis global. SBY, sebagai gerbong terdepan seharusnya bisa lebih menjinakkan krisis global itu dengan membuat rakyat senang, tanpa harus “digoyang” dulu oleh demonstrasi. Memang, seterusnya selesai didemo Presiden SBY menurunkan sejumlah “item” BBM, tapi sudah telat.

Mengapa? Karena masyarakat sudah terlanjur cerdas mengantisipasi “produk” politis lainnya, sebelum Presiden SBY menurunkan harga BBM, misalnya. Jelas ini sebuah realita yang harus diterima oleh seluruh kalangan termasuk tim sukses SBY, bahwa ketidak-pekaan ini merupakan langkah mundur dari rezim ini.

Menyoal Iklan Parpol yang tak Beretika


Iklan yang diperdengarkan di media radio di Jakarta yang mengatasnamakan Partai Demokrat jelas sekali terlihat bahwa kekuasaan digunakan sebagai kendaraan kampanye partai politik menjelang Pemilu 2009 yang sebentar lagi akan diselenggarakan. Jikapun ini secara de jure tidak termasuk dalam hal pelanggaran, tapi secara etika PD sudah menggunakan Presiden SBY sebagai kesuksesan PD dalam menjalankan roda pemerintahan.

Jelas-jelas ini sangat tidak beretika. Beberapa waktu lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh seperti yang disebutkan di dalam media cetak nasional, menyebutkan bahwa sejauh ini iklan yang dilakukan parpol pada masa kampanye ini masih beretika. Muhammad Nuh ada seorang menteri, jelas ia adalah bawahannya SBY. Tentunya, apapun pelanggaran termasuk masalah dalam beretika iklan kampanye pun tidak disebut sebagai pelanggaran.

Iklan di radio itu menyebutkan bahwa dua kali dalam sebulan harga BBM sudah diturunkan, itu sangat luar biasa (kata seseorang pria di iklan radio). Anggaran pendidikan telah dinaikkan 20 persen, dan sebagainya. Dari pesan iklan itu adalah program yang dijalankan pemerintah, bukan PD. Sebab, di dalam pemerintahan itu bukan hanya PD, ada Partai Golkar, PPP, PKS dan lain sebagainya.

Di sisi lain, nyatanya BBM tidak sangat signifikan menjamah “penderitaan” masyarakat, hanya Rp500. Ini “ngaco”, apalagi pendidikan. Logika saja, di tengah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah mencapai ratusan ribu orang masa produktif—sedang sangat gencar, bagaimana untuk mencukupi biaya kebutuhan pendidikan anak-anak jika kondisinya seperti ini. Terlalu hiperbola dan sangat tidak beretika.

Apa Kebutuhan Kita 2009?


Tanggung jawab pemimpin terpilih setelah Pemilu 2009 nanti nampaknya akan semakin berat. Rupanya 2009 ini merupakan tahun “kemiskinan” Indonesia. Ancaman pemutusan hubungan kerja sebentar lagi akan menggejala di seluruh sektor perekonomian. Hanya sebagai informasi saja, ketika devisa maupun kas negara banyak diperoleh dari sektor swasta.

Menyikapi ini terbayang sekali akan beratnya tanggung jawab presiden dan wakil presiden Indonesia yang baru untuk mengurangi sampai mengikis hingga indeksnya menurun. Kondisi ini merupakan tantang yang sangat diperlukan solusi konkrit.

Setidaknya dipikiran kita terbayang, bahwa jangankan mereka saudara-saudara kita yang menjadi korban PHK ini berpikir untuk mempunyai tempat tinggal yang layak. Mungkin, di antara saudara-saudara kita sudah mengalami hal ini sejak sebelum mereka kena di PHK—bagaimana ketika kena PHK dan hanya mendapat pesangon yang sangat minim? Tidak semua korban PHK dapat pesangon. Inilah yang diacuhkan SBY-Kalla, alias tidak mau ikutan pusing “mikirin” kondisi korban PHK. Selain itu, saudara kita korban PHK ini kebutuhan makan saja setiap harinya belum tentu tercukupi, karena sudah tidak punya uang.

Makanya, konkrit saja—bahwa yang dibutuhkan saat ini pemimpin yang bisa memikirkan kebutuhan makan dulu, sebelum mereka mempunyai pekerjaan dan hingga hidup yang layak. Kebutuhan sembakolah yang utama.