Hiruk-pikuk Politik


Setelah lebih dari satu tahun mengendap, DPR berencana menghidupkan kembali Panitia Khusus Orang Hilang. Penculikan aktivis itu terjadi 1997-1998.

Langkah DPR menimbulkan reaksi pro kontra dari pihak yang disebut-sebut terkait dalam penculikan aktivis. Rencana Pansus memanggil sejumlah mantan petinggi militer, seperti Wiranto, Prabowo, dan Susilo Bambang Yudhoyono, telah mendapatkan bantahan dari para pihak. Langkah wakil rakyat itu diduga terkait dengan persaingan politik menjelang Pemilu 2009. Dugaan itu bisa dipahami karena Wiranto kini memimpin Partai Hanura, Prabowo adalah calon presiden dari Partai Gerindra, dan Yudhoyono adalah presiden saat ini yang akan mencalonkan diri lagi pada Pemilu 2009.

Penculikan aktivis yang terjadi menjelang akhir kekuasaan Orde Baru itu melibatkan sejumlah prajurit Komando Pasukan Khusus TNI AD. Mabes TNI telah membentuk Dewan Kehormatan Perwira yang diketuai Agum Gumelar. Sanksi terhadap sejumlah perwira tinggi militer, termasuk Prabowo, telah dijatuhkan. Sejumlah prajurit Kopassus telah diadili di Mahkamah Militer.

Komnas HAM kemudian membentuk tim dan merekomendasikan adanya pelanggaran hak asasi manusia berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa. Komnas HAM berpendapat, 14 korban penculikan—yang belum diketahui keberadaannya—harus dianggap masih hidup dan harus segera dikembalikan kepada keluarganya. Rekomendasi Komnas HAM ini disambut DPR dengan membentuk Pansus Orang Hilang.

Kita mendukung kasus pelanggaran HAM masa lalu dituntaskan dan keadilan kepada korban diberikan. Kita tak ingin isu pelanggaran HAM terus dijadikan komoditas politik. Melihat rekam jejak DPR dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM, kita tidak yakin keinginan DPR mengaktifkan kembali Pansus Orang Hilang dilandasi niat tulus menegakkan hukum dan keadilan. Kalau niat itu memang ada, kasus itu sudah bisa dituntaskan jauh sebelumnya. Penuntasan kasus pelanggaran HAM memang menjadi problem pelik dalam negara yang sedang melakukan transisi demokrasi.

Tampaknya, kita harus berbesar hati mengakui, kita belum berhasil menyelesaikan problem masa lalu sebagaimana telah dicontohkan Afrika Selatan. Keinginan kita membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi gugur di tangan Mahkamah Konstitusi.

Kita cenderung terus memolitisasi kasus pelanggaran masa lalu, untuk kepentingan kelompok, bukan untuk memberikan keadilan kepada korban. Apakah kini bukan saatnya bagi kita untuk berpikir bagaimana memberikan keadilan kepada korban? Ruang politik itu terbuka. Pemerintah perlu memberikan penjelasan apa yang terjadi, meminta maaf jika memang ada kesalahan, dan memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban atau keluarganya.

Langkah legal hanyalah salah satu di antara banyak cara jika memang ada komitmen menyelesaikannya!


Tidak ada komentar: