Diam atau Berkata Benar


PILIHANNYA hanya dua itu, yakni diam atau berkata benar. Sebagai anggota warga negara yang baik, tatkala semua kondisinya memang sudah semakin ruwet, seperti kondisi politik sekarang ini, seorang pemimpin atau calon pemimpin harus bisa menempatkan diri dan pada situasi apa pun.

Tahun politik 2008 ini memang sangat membingungkan rakyat. Terlebih saat ini semua orang yang menamakan dirinya sebagai elite politik bermain dan menari-nari. Kenapa? Sepertinya rakyat Indonesia yang meng-gap-kan diri sebagai elite semakin gagah-gagahan di mata rakyat, baik di televisi, di koran/majalah, maupun di semua papan iklan yang ada di sisi jalan.

Apakah negeri ini menjadikan rakyat sebagai konstituen atau masyarakat awam politik harus selalu menjadi penonton dan selalu harus menjadi korban bagi elite yang sudah dipilih dengan legowo dari si rakyat itu sendiri? Sepertinya hal itu terus akan terjadi bahkan sampai kiamat, barangkali.

Semua elite bicara, semuanya saling tunjuk jari ke depan, saling tunjuk jari ke atas. Terbayang bagaimana ramainya para elite yang ingin menjadi legislatif bahkan yang ingin menjadi orang nomor satu negeri ini. Namun, ada seorang tokoh yang dia tidak banyak bicara dan 'lagu' seperti elite lainnya. Bahkan hal itu bisa menjadi contoh yang baik buat diteladani.

Megawati Soekarnoputri tidak recet seperti elite lainnya, semuanya sudah terbayang haus kekuasaan. Bahkan Megawati pernah ditulis di berita pada salah satu media cetak Jakarta bahwa wakil yang bakal menemani beliau ada di dalam hati. Sangat-sangat puitis dan menenteramkan hati rakyat yang membaca berita itu, terlebih ketika seluruh elite seperti benang kusut.

Itulah teladan yang baik, seperti Nabi Muhammad SAW, seperti yang diriwayatkan, Ahmad memberikan contoh ketika melihat kondisi memanas Rasulullah diam. Karena itu akan mengindikasi kemarahan orang atau golongan dan bisa dilihat dari seberapa jauh tingkat 'kekasaran' dan kekerasan ucapan elite (orang) atau golongan tersebut. Semakin rumit, semakin kasar, jika sudah tidak tertahankan, nanti akan terjadi adu mulut yang berkembang menjadi adu fisik, perkelahian. Dari perkelahian kecil bisa berkembang menjadi pembunuhan.

Fadli Eko Setiyawan, Jln Tanah Kusir II RT009/09Jakarta Selatan

Tidak ada komentar: