Antara Tuhan dan KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) seolah-olah buang badan. Hal ini terlihat dari aksinya atau program selanjutnya bahwa KPU akan memverifikasi lagi untuk data pemilih tetap (DPT) yang kemarin tidak punya kesempatan untuk menyontreng pada pemilihan legislatif, tapi dengan melapor dirinya (baca: masyarakat) berhak pada penyontrengan pemilihan presiden yang akan terselenggara beberapa bulan lagi.

Ini jelas-jelas tindakan yang tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan pilleg yang bisa disebut gagal. Mengapa demikian? Karena seharusnya ada tanggung jawab atau reaksi dari KPU mengenai pemilih yang bisa memilih tapi tidak mempunyai kesempatan memilih.

Seperti yang dilakukan beberapa partai oposisi seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura dan lain-lain—mestinya KPU berterima kasih dan bahkan dengan segera melakukan pemilihan ulang, atau yang lainnya. Jangan tinggal menyebutkan bahwa yang punya hak pilih tapi terabaikan bisa memilih pada pilpres mendatang.

Setelah melakukan perbaikan, boleh lah dilakukan hal seperti dilakukan verifikasi ulang, dan atau sebagainya, dan meloloskan pemilih yang punya hak. Tapi, ini kan seolah-olah lancar setahap atau beberapa tahap. Inilah demokrasi yang sengaja diciptakan oleh incumbent pada masyarakat yang tengah mengalami pendewasaan dalam berdemokrasi atau detilnya dalam berpolitik.

Setiap kali (5 tahun sekali) selalu ada pengubahan teknis dalam menyontreng. Namun, usaha itu dianggap sebuah hal yang biasa-biasa saja sehingga tidak terlihat dari kegigihan perangkat negara (baca: KPU) dalam mempertanggungjawabkan kerjanya demi negara. Ironi sekali, bahkan hal ini dengan “malu-malu kucing” dilindungi pemerintah.

Seperti bahasa atau kata-kata yang saya kutip dari sudara-saudara kita, “Biar semua ini Tuhan yang balas.” Tidak cukup! Sementara, kitanya sendiri yang mengabaikan hal ini sehingga kita sendiri yang harusnya bertanggung jawab tapi tidak.

Memang Tuhan Maha Kuasa dan Maha Mengampuni. Tapi tidak seperti ini jadinya, jika kita berharap negeri kita di tahun mendatang bisa menjadi lebih baik. Berusaha yang teramat sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih baik, itu baru mengharap berikutnya “pengasihan” (baca: perbaikan negeri) dari Tuhan. Jadi, bisakah kita menjadikan diri kita sebagai bagian warga yang teramat peduli akan perkembangan negeri kita demi generasi selanjutnya yang memimpin negeri ini?

Tidak ada komentar: